Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Sentimen (Ghill): Penghambat Ukhuwah dan Jalan Menuju Surga

Sentimen merupakan salah satu sumber kerusakan dalam kebersamaan hidup manusia. Sikap ini sering kali muncul dalam bentuk fanatisme kelompok, baik dalam ranah yayasan, partai, maupun organisasi masyarakat (ormas). Alih-alih memperkuat ukhuwah Islamiyah , sentimen justru lebih dominan sehingga melahirkan konflik internal yang menghambat dakwah dan melemahkan persatuan dan kesatuan umat. Dalam lingkup yayasan atau lembaga dakwah, misalnya, jalan dakwah para ustadz pada hakikatnya sama, yakni menyampaikan risalah Islam. Namun karena perbedaan afiliasi yayasan, tidak jarang terjadi gesekan. Ketika sebuah yayasan mengadakan Tabligh Akbar , pihak lain enggan berlapang dada hanya karena berbeda lembaga. Fenomena ini menunjukkan bahwa ukhuwah dan semangat ta’awun kerap dikorbankan demi kepentingan duniawi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan lembaga . Fenomena serupa dapat dijumpai dalam politik Islam . Identitas keislaman seseorang terkadang diukur dari partai yang diikutin...

Pernikahan dan Kesetiaan: Antara Anugerah dan Ujian

Ikatan pernikahan tidak sekadar menyatukan dua hati, melainkan juga membangun pondasi komitmen yang harus dijaga. Pembahasan seputar pernikahan selalu menjadi pembahasan menarik, terlebih bila dikaitkan dengan isu pencarian, kesetiaan maupun perceraian. Penulis kali ini ingin membahas soal perceraian. Perceraian tidak selalu disebabkan oleh kematian salah satu pasangan (cerai mati). Ada pula perceraian yang muncul dari pilihan hidup pasangan itu sendiri, yang dikenal sebagai cerai hidup. Cerai hidup bisa terjadi karena banyak faktor, namun faktor utama yang paling sering mendominasi adalah runtuhnya kesetiaan. Dalam ajaran Islam, seorang suami diwajibkan untuk senantiasa menjaga loyalitas dan cintanya terhadap pasangan. اِنَّ لِلزَّوْجِ مِنَ الْمَرْأَةِ لَشُعْبَةَ مَا هِيَ لِشَيْئٍ (رواه ابن ماجه) Artinya: “Sesungguhnya suami mendapatkan dari istrinya suatu cinta kasih yang begitu besar, yang tidak ia dapatkan dari hal lain.” (HR. Ibnu Majah, Al-Jami’us Shaghir, no. 2380). Ha...

Haram Mengejar Akhirat Melupakan Dunia

Allah telah menyampaikan selama kita hidup di dunia, selain beribadah kepada-Nya, kita juga diperintahkan agar jangan melupakan dunia kita. Keduanya harus imbang dan sama baiknya. Allah  subhanahu wa ta’ala  berfirman di dalam surat Al Qashash: 77 وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Untuk meraih kebahagiaan di akhirat tentunya kita isi dengan beribadah kepada Allah,  ibadah-ibadah yang sifatnya tauqifiyah atau ibadah  madhdhoh . Adapun untuk kebahagian dunia kita diperintahkan oleh Allah untuk bekerja. Namun, masih banyak orang beranggapan bahwa bekerja hanyalah aktivitas duniawi, sekadar usaha mencari nafkah, karier, atau kekayaan. Bahkan tak jarang, sebagian merasa rendah atau malu ketika hanya disebut sebagai "pekerja ...

Friksi dan Jalan Kembali kepada Allah

Dakwah bukanlah jalan yang mulus tanpa rintangan. Sejak dahulu, para dai menghadapi berbagai bentuk ujianfitnah, hasutan, hingga pengucilan. Bahkan dari kalangan terdekat sekalipun. Berbagai kekecewaan memang tak terelakkan, bahkan terkadang datang dari orang-orang yang mengaku  semanhaj . Namun, semua itu justru menjadi penguat keyakinan bahwa  ridha Allah tidak bisa diraih dengan mudah dan murah . Pelajaran dari Ka’ab bin Malik Sejarah mencatat,  Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu  pernah mengalami ujian berat. Ia ditahdzir, dijauhi, dan dikucilkan. Bahkan keluarganya sendiri tidak mengajak bicara, dan istrinya diperintahkan menjauhinya. Yang mentahdzir beliau bukan orang biasa, melainkan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  sendiri. Selama 40 hari, dunia terasa sempit dan menyesakkan bagi Ka’ab. Di saat itu, datang godaan dari kaum kafir. Raja Ghassan mengirim utusan membawa surat, mengajaknya bergabung dan memanfaatkan keadaan. Namun, Ka’a...

Menelusuri Fragmentasi Gerakan Salafi

Pada masa awal, menjadi seorang salafi relatif sederhana. Lebih tepatnya, pengakuan sebagai salafi tidaklah sulit. Hal ini terjadi ketika gerakan salafi masih dalam posisi lemah dan belum memiliki fragmentasi yang kompleks sebagaimana sekarang. Ciri utama yang menjadi tolok ukur saat itu dapat dirangkum dalam tiga poin pokok: Komitmen terhadap tauhid al-asma was-sifāt sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alayhi wasalla m, sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'iin Semangat untuk kembali kepada tauhid sekaligus memberantas praktik kesyirikan. Semangat untuk kembali kepada sunnah dengan menolak fanatisme buta. Karena kriteria tersebut relatif sederhana, maka banyak tokoh lintas latar belakang dapat dianggap sebagai bagian dari semangat salafi. Misalnya: Abu Ismail al-Harawi , seorang sufi yang dikenal hardcore , tetap dihormati bahkan digelari Syaikh al-Islam . Asy-Syathibi , meskipun bermazhab Asy‘ari, karyanya menjadi ...