Langsung ke konten utama

Sentimen (Ghill): Penghambat Ukhuwah dan Jalan Menuju Surga

Sentimen merupakan salah satu sumber kerusakan dalam kebersamaan hidup manusia. Sikap ini sering kali muncul dalam bentuk fanatisme kelompok, baik dalam ranah yayasan, partai, maupun organisasi masyarakat (ormas). Alih-alih memperkuat ukhuwah Islamiyah, sentimen justru lebih dominan sehingga melahirkan konflik internal yang menghambat dakwah dan melemahkan persatuan dan kesatuan umat.

Dalam lingkup yayasan atau lembaga dakwah, misalnya, jalan dakwah para ustadz pada hakikatnya sama, yakni menyampaikan risalah Islam. Namun karena perbedaan afiliasi yayasan, tidak jarang terjadi gesekan. Ketika sebuah yayasan mengadakan Tabligh Akbar, pihak lain enggan berlapang dada hanya karena berbeda lembaga. Fenomena ini menunjukkan bahwa ukhuwah dan semangat ta’awun kerap dikorbankan demi kepentingan duniawi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan lembaga.

Fenomena serupa dapat dijumpai dalam politik Islam. Identitas keislaman seseorang terkadang diukur dari partai yang diikutinya. Militansi terhadap partai dijadikan tolok ukur keimanan, padahal sesungguhnya semua partai Islam lahir dari niat memperjuangkan kepentingan umat. Perbedaan pilihan politik tidak seharusnya melahirkan pertentangan, karena umat membutuhkan sinergi dalam membangun bangsa, bukan perpecahan yang justru memperlemah kekuatan Islam.

Demikian pula dalam organisasi Masyarakat (ormas). Allah Subḥanahu wa Ta’ala  memerintahkan agar umat-Nya membesarkan nama Allah Jalla Jalaaluh:

وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ

“Dan agungkanlah Tuhanmu.” (QS. Al-Muddatsir: 3)

Namun, sebagian orang lebih sibuk membesarkan nama organisasinya dengan cara mendiskreditkan kelompok lain, Bahkan ada tokoh ormas yang berlebihan dalam klaimnya hingga menyamakan organisasi dengan agama itu sendiri.

NU niku wes Agomo, ora NU neroko! – NU itu sudah seperti Agama, nggak NU ya (masuk) neraka” (KH. Munif Zuhri Girikusumo)

Pandangan semacam ini jelas berbahaya, karena menjadikan loyalitas kepada kelompok lebih besar daripada loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya memiliki konsekuensi yang besar di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

“Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada 'ashabiyyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena 'ashabiyyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena 'ashabiyyah.” (HR. Abu Dawud)

Kembali pembahasan kepada sentimen, sikap sentimen ini bukan hanya berakibat buruk di dunia, tetapi juga memiliki konsekuensi di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda mengenai Al Qantharah, tempat persinggahan setelah Shirath:

يَخْلُصُ الْمُؤْمِنُونَ مِنَ النَّارِ، فَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، فَيُقْتَصُّ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ مَظَالِمَ كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا نُقُّوا وَهُذِّبُوا، أُذِنَ لَهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ

“Orang-orang mukmin yang selamat dari neraka akan ditahan di atas jembatan antara surga dan neraka (Al Qanṭharah). Mereka saling menuntut atas kezhaliman yang pernah terjadi di dunia. Hingga apabila mereka telah dibersihkan dan disucikan, barulah mereka diperkenankan masuk ke dalam surga.”(HR. Bukhari)

Rasulullah ingin menegaskan di dalam bahwa meskipun seorang muslim berhasil melewati Shirath, ia belum otomatis masuk surga. Masih ada hisab terkait kezhaliman yang dilakukan kepada sesama muslim. Baik menyangkut harta, kehormatan, maupun perselisihan yang lahir dari sentimen kelompok. Dengan demikian, sentimen yang kita lakukan terhadap saudara seiman bisa menjadi penghalang masuk surga, meski amal ibadah kita secara pribadi baik.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ

“Dan Kami lenyapkan segala rasa sentimen (dendam) yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al Ḥijr: 47)

Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu kenikmatan surga adalah dihilangkannya rasa dendam dan sentiment (Ghill). Maka, seorang muslim yang ingin meraih surga harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari sifat tersebut sejak di dunia, bila tidak maka penyelesaiannya di akhirat, tentunya hal ini tidak kita inginkan.

Jadi sudah sepatutnya umat Islam menjauhi segala bentuk sentimen, baik dalam ranah yayasan, partai, maupun ormas. Perbedaan hendaknya disikapi dengan lapang dada, karena ukhuwah adalah kunci persatuan umat. Sentimen bukan hanya akan memperlambat Langkah persatuan dan kesatuan umat, tapi juga dapat menunda kita menuju surga Allah.

Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu menjaga persaudaraan, menjauhkan diri dari fanatisme sempit, dan kelak dapat melewati Al Qantharah dengan selamat menuju surga-Nya. Baarakallahu Fiikum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Mantan Penyanyi Kafe Ini Sebar Syubhat Lagi, Umat Islam Harus Tahu!

Membantah Syubhat Riyadh Bajrey Hadahullah Riyadh Bajrey hadahullah seorang mantan penyanyi kafe, dan mantan peminum khamar serta perokok aktif hingga sekarang, lagi-lagi membuat perkatan yang menimbulkan polemik di tengah umat. Sebelumnya dia mengatakan rokok itu halal, sekarang dia Kembali berulah dengan mengatakan bahwa Khamr itu lebih baik daripada membuat kajian berbayar, dan demo itu perbuatan yang menabrak ushuluddin. Nah, sekarang mari kita bedah seputar rokok, khamar, kajian berbayar, kampanye, dan demo. Riyadh Bajrey tentang rokok: “Kami meyakini kehalalannya” Dalam salah satu klarifikasinya ketika videonya sedang viral karena terlihat merokok, Riyadh Bajrey secara gamblang dan meyakinkan menyatakan bahwa rokok itu halal. Pernyataan ini justru sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama rabbani kontemporer. Jangankan ulama-ulama yang menjadi rujukan dalam kaidah manhaj salaf, bahkan ulama yang menurut sebagian kelompok dianggap di luar manhaj salaf—yang merokok...