Dalam lingkup yayasan atau
lembaga dakwah, misalnya, jalan dakwah para ustadz pada hakikatnya sama, yakni
menyampaikan risalah Islam. Namun karena perbedaan afiliasi yayasan, tidak
jarang terjadi gesekan. Ketika sebuah yayasan mengadakan Tabligh Akbar, pihak
lain enggan berlapang dada hanya karena berbeda lembaga. Fenomena ini
menunjukkan bahwa ukhuwah dan semangat ta’awun kerap dikorbankan demi
kepentingan duniawi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan
lembaga.
Fenomena serupa dapat dijumpai
dalam politik Islam. Identitas keislaman seseorang terkadang diukur dari partai
yang diikutinya. Militansi terhadap partai dijadikan tolok ukur keimanan,
padahal sesungguhnya semua partai Islam lahir dari niat memperjuangkan
kepentingan umat. Perbedaan pilihan politik tidak seharusnya melahirkan
pertentangan, karena umat membutuhkan sinergi dalam membangun bangsa, bukan
perpecahan yang justru memperlemah kekuatan Islam.
Demikian pula dalam organisasi Masyarakat
(ormas). Allah Subḥanahu wa Ta’ala memerintahkan agar umat-Nya membesarkan nama
Allah Jalla Jalaaluh:
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
“Dan agungkanlah Tuhanmu.”
(QS. Al-Muddatsir: 3)
Namun, sebagian orang lebih sibuk
membesarkan nama organisasinya dengan cara mendiskreditkan kelompok lain, Bahkan
ada tokoh ormas yang berlebihan dalam klaimnya hingga menyamakan organisasi
dengan agama itu sendiri.
“NU niku wes Agomo, ora NU
neroko! – NU itu sudah seperti Agama, nggak NU ya (masuk) neraka” (KH. Munif
Zuhri Girikusumo)
Pandangan semacam ini jelas
berbahaya, karena menjadikan loyalitas kepada kelompok lebih besar daripada
loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya memiliki konsekuensi yang besar di sisi
Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى
عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ
مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan termasuk golongan kami
orang yang mengajak kepada 'ashabiyyah, bukan termasuk golongan kami orang yang
berperang karena 'ashabiyyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang
mati karena 'ashabiyyah.” (HR. Abu Dawud)
Kembali pembahasan kepada sentimen,
sikap sentimen ini bukan hanya berakibat buruk di dunia, tetapi juga memiliki
konsekuensi di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda
mengenai Al Qantharah, tempat persinggahan setelah Shirath:
يَخْلُصُ الْمُؤْمِنُونَ مِنَ
النَّارِ، فَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ،
فَيُقْتَصُّ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ مَظَالِمَ كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا،
حَتَّى إِذَا نُقُّوا وَهُذِّبُوا، أُذِنَ لَهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ
“Orang-orang mukmin yang selamat
dari neraka akan ditahan di atas jembatan antara surga dan neraka (Al Qanṭharah).
Mereka saling menuntut atas kezhaliman yang pernah terjadi di dunia. Hingga
apabila mereka telah dibersihkan dan disucikan, barulah mereka diperkenankan
masuk ke dalam surga.”(HR. Bukhari)
Rasulullah ingin menegaskan di
dalam bahwa meskipun seorang muslim berhasil melewati Shirath, ia belum
otomatis masuk surga. Masih ada hisab terkait kezhaliman yang dilakukan kepada
sesama muslim. Baik menyangkut harta, kehormatan, maupun perselisihan yang
lahir dari sentimen kelompok. Dengan demikian, sentimen yang kita lakukan
terhadap saudara seiman bisa menjadi penghalang masuk surga, meski amal ibadah
kita secara pribadi baik.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ
سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ
“Dan Kami lenyapkan segala rasa sentimen (dendam) yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk
berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. Al Ḥijr: 47)
Ayat ini menunjukkan bahwa salah
satu kenikmatan surga adalah dihilangkannya rasa dendam dan sentiment (Ghill).
Maka, seorang muslim yang ingin meraih surga harus terlebih dahulu membersihkan
dirinya dari sifat tersebut sejak di dunia, bila tidak maka penyelesaiannya di
akhirat, tentunya hal ini tidak kita inginkan.
Jadi sudah sepatutnya umat Islam
menjauhi segala bentuk sentimen, baik dalam ranah yayasan, partai, maupun
ormas. Perbedaan hendaknya disikapi dengan lapang dada, karena ukhuwah adalah
kunci persatuan umat. Sentimen bukan hanya akan memperlambat Langkah persatuan
dan kesatuan umat, tapi juga dapat menunda kita menuju surga Allah.
Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu menjaga persaudaraan, menjauhkan diri dari fanatisme sempit, dan kelak dapat melewati Al Qantharah dengan selamat menuju surga-Nya. Baarakallahu Fiikum.
Komentar
Posting Komentar