Langsung ke konten utama

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa) istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" (حزب) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an.

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata:

مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا

"Barangsiapa yang mengangkat seseorang—siapa pun dia—kemudian membangun loyalitas dan permusuhan berdasarkan kesesuaian dengan ucapan dan tindakannya, maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang memecah belah agama mereka dan menjadi kelompok-kelompok.” (Al Furqan bayna Awliya’ Ar Raḥman wa Awliya’ asy-Syaithan)

Maka mereka termasuk dalam golongan yang disebut dalam firman Allah Ta’ala:

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

(yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.’ (QS. Ar-Rum: 32)

Peringatan ini sangat relevan untuk kondisi umat hari ini, di mana banyak kaum Muslimin justru menampakkan karakter seperti yang dahulu dimiliki oleh sebagian Bani Israil: membela tokoh dan golongannya secara membabi buta, meskipun jelas-jelas sang tokoh jatuh dalam kesalahan. Loyalitas mereka tidak dibangun di atas kebenaran, tapi di atas fanatisme terhadap figur dan kelompok. Padahal karakter seperti ini yang membuat Bani Israil dibenci oleh Allah—mereka menolak kebenaran hanya karena tidak sejalan dengan hawa nafsu, atau tidak sesuai dengan kehendak pemuka golongan mereka.

Sikap seperti ini menjadikan seseorang menilai kebenaran berdasarkan siapa yang mengatakannya, bukan berdasarkan dalil. Tokoh dijadikan tolok ukur kebenaran, bukan sebaliknya. Sehingga jika gurunya berkata, maka pasti benar; jika orang lain berkata, maka dicurigai bahkan meskipun membawa dalil. Inilah bentuk hizbiyah yang nyata.

Ketika seorang tokoh dari kelompoknya jelas-jelas menyimpang atau berbuat salah, maka dengan segera dicari-cari udzur, dibela dengan berbagai dalih, atau ditutup-tutupi kesalahannya dengan alasan husnuzhan.

Lebih miris lagi, ketika seorang tokoh dari kelompoknya jelas-jelas menyimpang atau berbuat salah, maka dengan segera dicari-cari udzur, dibela dengan berbagai dalih, atau ditutup-tutupi kesalahannya dengan alasan husnuzhan. Bahkan ada yang memelintir dalil demi menjaga wibawa panutannya. Ini tidak jauh berbeda dengan sikap sebagian Bani Israil terhadap ulama dan rahib mereka yang telah menyimpang, namun tetap dijunjung tinggi seolah tidak pernah salah. Mereka lebih takut kehilangan sosok pemuka daripada kehilangan kebenaran.

Namun ironinya, saat tokoh dari luar kelompok melakukan kekeliruan, bahkan yang ringan sekalipun, maka langsung dihakimi, dijatuhkan martabatnya, dan dicoreng kehormatannya. Mereka lupa akan prinsip adil dalam menilai, dan malah terjebak dalam karakter kaum terdahulu yang keras kepala dalam fanatisme buta. Ini bukan warisan salaf, ini adalah warisan buruk dari Bani Israil yang sudah berulang kali diingatkan oleh Al-Qur’an.

Padahal Islam mengajarkan keadilan dan keseimbangan dalam bersikap. Bila seorang ulama, siapapun dia berkata benar, maka kebenarannya diterima. Bila salah, maka kesalahannya dijelaskan, tanpa harus mencaci dan menjatuhkan martabatnya. Begitu pula sebaliknya, tidak ada kewajiban membela seseorang hanya karena dia berasal dari “kelompok kita.” Islam tidak membangun loyalitas atas dasar afiliasi kelompok, tapi atas dasar kebenaran dan kejujuran dalam ilmu.

Ibnu Taimiyyah dalam iqtidha’ shirath al mustaqim dan Majmu’ Fatawa secara paraphrase menegaskan:

"Seharusnya setiap mukmin melatih dirinya untuk mempelajari ilmu yang berkaitan dengan isi batinnya, lalu bersikap sesuai dengan kandungan batinnya tersebut. Hati yang bersih dan jujur inilah yang seharusnya menjadi cambuk dan pengontrol dirinya."

Karena ujian hidup dan berbagai fitnah akan menjadi cermin kondisi hati seseorang. Apakah dia setia pada prinsip, atau malah tergelincir dalam loyalitas semu yang dibungkus dengan label agama.

Sungguh sejarah membuktikan, hizbiyah dan fanatisme kelompok adalah api dalam sekam. Ia akan menyala ketika sang panutan dikritik, ketika kelompoknya dipertanyakan, atau ketika kebenaran datang dari arah yang tidak disukainya. Lalu akan muncul suara-suara pembelaan, retorika-rerorika pembenaran, dan celaan terhadap pihak yang berbeda. Semua ini adalah warisan karakter sebagian Bani Israil yang dibungkus dengan baju ahlusunnah.

Cukuplah Allah sebagai penolong kita. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga kita dari jurang fanatisme yang menyesatkan, dan menanamkan ke dalam hati kita kejujuran dalam menilai dan menerima kebenaran, meskipun datang dari orang yang tidak kita sukai. Semoga kita wafat dalam keadaan membawa ilmu yang bermanfaat dan amal yang ikhlas, serta dijauhkan dari karakter Bani Israil yang membela tokoh meski salah, dan menolak kebenaran hanya karena tidak atau belum keluar dari lisan tokoh yang menjadi rujukannya.

Komentar

  1. Abulfaruq bilang antum itu sesat tidak pantas menanggapi riyad bajrey.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...