Ghulluw dan Ghurur Awal Kesesatan Ilmu

Menuntut ilmu adalah syariat yang memiliki tempat utama di dalam Islam. Islam dibangun di atas ilmu. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda khusus tentang perkara ini dalam haditsnya:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu diwajibkan atas semua muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Dan dalam tradisi Islam, menuntut ilmu adalah jalan kemuliaan. Allah Ta’ala berfirman:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا

"Dan katakanlah: ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’" (QS. Ṭhaha: 114)

Dari ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang harus selalu kita pinta dan perjuangkan, dan di antara bentuk perjuangan itu adalah mempelajari adab dalam menuntut ilmu. Salah satu aspek paling penting dari adab ini adalah bagaimana seorang murid bersikap terhadap gurunya.

Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya menghormati guru sebagai salah satu pintu untuk meraih keberkahan ilmu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

"Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak para ulama kami." (HR. Abu Dawud, no. 4943. Hadis ini hasan)

Hadits ini di dalam syarah kitab Khulashoh Ta’dzhimul ‘ilm kata كَبِيرَنَا (Kabiiranaa) di dalam hadits bukan hanya menyangkut usia, akan tetapi kabiir dalam hal ilmu, yakni guru. Namun, sikap penghormatan tersebut harus tetap berada dalam batas-batas syar’i yang dibenarkan. Jangan sampai penghormatan berubah menjadi fanatisme buta, yakni menganggap guru sebagai sosok yang tidak mungkin salah dan menjadikan setiap ucapannya setara dengan dalil syariat. Fanatisme semacam ini bisa menjerumuskan ke dalam ghuluw (berlebih-lebihan), yang dilarang dalam Islam.

Ghulluw di dalam agama kita adalah sesuatu yang harus dijauhi dan diwaspadai, karena terkadang penderitanya tidak sadar dengan penyakit satu ini yang merasuk ke dalam jiwanya. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ

"Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam beragama." (HR. Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Majah, Al Hakim, hadits shahih).

Di dalam hadits di atas kalaulah ghulluw terhadap agama saja hukumnya haram, harus dijauhi. Maka, ghulluw terhadap personal (guru) pun harus dijauhi, karena hakikatnya sikap ghuluw terhadap guru tidak hanya merugikan penuntut ilmu, namun juga membahayakan guru itu sendiri. Seorang guru yang terlalu diagung-agungkan bisa terjatuh dalam sifat ghurur (tertipu oleh dirinya sendiri), merasa semua ucapannya benar dan tidak butuh koreksi. Sementara para ulama selalu mengingatkan bahwa siapa pun selain Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, ucapannya bisa kita terima maupun kita tolak.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

كُلٌّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ

"Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini (Sambil menunjuk ke makam Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam di Masjid Nabawi)”

Ucapan Allahuyarham Imam Malik ini menjadi kaidah penting dalam menuntut ilmu dan bermuamalah dengan para guru (ulama). Bahwa kebenaran absolut hanya milik Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, sementara selain beliau bisa salah dan benar.

Imam Al Ghazala rahimahullah juga mengingatkan dalam Iḥya’ ‘Ulumuddin:

كُلُّ قَوْلٍ لَا يَثْبُتُ بِالدَّلِيلِ فَلَا يَجُوزُ التَّعَصُّبُ لَهُ وَلَا التَّقْلِيدُ فِيهِ، وَإِنْ صَدَرَ عَنْ كَبِيرٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ

"Setiap ucapan yang tidak memiliki dalil, maka tidak boleh seseorang fanatik terhadapnya atau taklid di dalamnya, walaupun keluar dari seorang ulama besar."

Ini menjadi pelajaran besar bagi penuntut ilmu, agar mereka tidak terperosok dalam sikap fanatik buta kepada guru, namun tetap menghormati dan mencintai guru sebagai jalan memperoleh keberkahan ilmu.

Ibnul Qayyim rahimahullah pun berkata dalam Madaarijus Saalikiin:

حَقُّ الشَّيْخِ أَنْ يُقَدَّرَ قَدْرُهُ، وَلَا يُجْعَلَ كَمَنْزِلَةِ النَّبِيِّ الَّذِي لَا يُخْطِئُ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَهْلَكَةٌ لِلشَّيْخِ وَالْمُرِيدِ جَمِيعًا

"Hak seorang guru adalah dimuliakan sesuai kedudukannya, namun tidak dijadikan setara dengan Nabi yang tidak pernah salah. Karena hal itu akan membinasakan guru dan murid sekaligus."

Jadi, adab terhadap guru harus dibangun di atas pondasi keikhlasan, penghormatan, dan sikap ilmiah yang seimbang. Penuntut ilmu tidak boleh menganggap guru sebagai makhluk suci yang tak bisa salah, juga tidak boleh meremehkan guru atau merasa tak butuh bimbingan. Jalan yang lurus adalah mengambil ilmu dengan penuh penghargaan, namun tetap menjadikan Al Qur'an dan Sunnah sebagai tolok ukur utama kebenaran.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang menjaga adab dalam menuntut ilmu dan menghindarkan kita dari segala bentuk ghuluw dan ghurur, baik sebagai murid maupun sebagai guru. Allahu a’lam

Posting Komentar

0 Komentar