Dinamika Fikih: Jejak Perjalanan Hukum Fikih (Eps. 5)

Nasakh (Penghapusan Hukum)

Secara lughawiy (bahasa/etimologi), kata Nasakh (نَسْخ) dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah الإِزَالَةُ (al izalah) yang berarti menghapus atau meniadakan[1]. Pendapat lain menyebutkan bahwa maknanya adalah memindahkan, sebagaimana dalam ungkapan orang Arab:

نَسَخْتُ مَا فِي الْكِتَابِ

Artinya: “Aku memindahkan apa yang ada di dalam kitab.”

Ungkapan ini bermakna bahwa seseorang memindahkan isi tulisan dari satu kitab ke kitab lain, bukan menghapus secara fisik, melainkan menyalin isinya ke tempat baru.

Menurut Imam As Sarakhsi, seorang ulama besar dari kalangan Hanafiyah yang bergelar Syams al-A’immah (Mataharinya para Imam), kata Nasakh — yang berarti menyalin, memindahkan, meniadakan, atau membatalkan — tidak dipahami secara hakiki (nyata), melainkan secara majazi (kiasan) [2]. Artinya, Nasakh dalam istilah ini bukan berarti benar-benar menghapus sesuatu secara fisik, tetapi menghapus hukum atau makna yang sebelumnya berlaku.

Sedangkan secara terminologi syariat, Nasakh diartikan sebagai:

خِطَابٌ دَلَّ عَلَى رَفْعِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِخِطَابٍ شَرْعِيٍّ مُتَأَخِّرٍ عَنْهُ

“Sebuah titah (khithab) dari Allah yang menunjukkan dihapusnya suatu hukum syar‘i oleh titah syar‘i lain yang datang sesudahnya.”

Dengan demikian, Nasakh berarti penghapusan atau pembatalan hukum lama yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah, kemudian diganti dengan hukum baru yang datang melalui wahyu berikutnya. Pergantian hukum ini bukan tanpa sebab, tetapi menunjukkan hikmah Allah dalam menurunkan syariat secara bertahap, sesuai dengan kesiapan umat dan kondisi zaman saat itu[3].

Terjadinya penghapusan beberapa hukum dalam syariat Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi kebijaksanaan dan kasih sayang Allah terhadap manusia. Nasakh menunjukkan bahwa syariat Islam diturunkan dengan memperhatikan kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia sesuai dengan waktu, tempat, dan kondisi mereka.

Terkadang, Allah menetapkan suatu hukum yang pada masa tertentu sangat sesuai untuk diterapkan, atau berfungsi untuk mencapai tujuan khusus yang bersifat sementara. Namun, ketika tujuan tersebut telah tercapai dan kondisi masyarakat telah berubah, maka hukum itu diganti dengan hukum lain yang lebih tepat. Dalam keadaan seperti ini, keberlakuan hukum lama tidak lagi dibutuhkan, dan secara syar‘i keabsahannya pun berakhir.

Berikut ini adalah beberapa contoh Nasakh (penghapusan hukum) yang terekam dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yang menunjukkan bagaimana Allah menurunkan syariat secara bertahap demi kemaslahatan umat manusia.

I.                    Wasiat

Pada masa Arab pra-Islam, harta peninggalan seseorang yang meninggal hanya diwariskan kepada anak-anaknya, terutama anak laki-laki. Sementara orang tua dan kerabat dekat hanya bisa mendapatkan bagian jika si anak semasa hidup membuat wasiat untuk mereka[4].

كَانَ الْمَالُ لِلْوَلَدِ، وَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ، فَنَسَخَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ مَا أَحَبَّ، فَجَعَلَ لِلذَّكَرِ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، ‌وَجَعَلَ ‌لِلْأَبَوَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسَ وَالثُّلُثَ، وَجَعَلَ لِلْمَرْأَةِ الثُّمُنَ وَالرُّبُعَ، وَلِلزَّوْجِ الشَّطْرَ وَالرُّبُعَ

“Dahulu (pada masa sebelum Islam) harta diwariskan untuk anak (laki-laki), dan wasiat diberikan kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat dekat. Maka Allah menghapus (menasakh) dari hal itu apa yang Dia kehendaki, lalu Dia menetapkan bahwa bagi laki-laki bagian dua kali bagian perempuan; dan bagi kedua orang tua masing-masing seperenam atau sepertiga; bagi istri seperdelapan atau seperempat; dan bagi suami setengah atau seperempat.” (HR. Bukhari)

Setelah datangnya Islam, Allah mengubah sistem warisan yang berlaku di masa sebelumnya melalui ayat-ayat Al Quran seperti di dalam surat Al Baqarah dan secara spesifik pada surat Annisa[5].

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila salah seorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) kematian, jika dia meninggalkan harta yang banyak, agar berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabatnya dengan cara yang baik. Hal itu merupakan kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 180)

Pada awal turunnya wahyu ini, Islam mewajibkan penulisan wasiat untuk orangtua dan kerabat untuk mengajarkan komunitas muslim tentang pentingnya hak-hak keluarga dengan kekayaan. Setelah masyarakat muslim menerima hukum ini mereka mulai menerapkannya dengan ketat, Allah menggantikannya dengan hukum waris yang lebih jelas dan terperinci, dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menegaskan lebih lanjut pembatalan hukum lama di atas melalui sabdanya (Sunnah)[6].

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda mengenai hal ini:

إِنَّ اللهَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ ‌قَد ‌أَعْطَى ‌كُلَّ ‌ذِي ‌حَقٍّ ‌حَقَّهُ، وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah yang Maha Agung lagi Maha Mulia telah memberikan kepada setiap orang yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

II.                  ‘Iddah (ihdaad)

Sebelum datangnya ketentuan baru, masa berkabung bagi seorang janda (masa ‘iddah) berlangsung selama satu tahun penuh. Suami diwajibkan menyediakan wasiat nafkah dan tempat tinggal bagi istrinya sepanjang masa tersebut.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ۚ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka membuat wasiat untuk istri-istri mereka, yaitu diberi nafkah sampai setahun lamanya tanpa disuruh keluar. Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka secara patut. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al Baqarah: 240)

Lalu Allah menasakh (menghapus) ketentuan tersebut dan menggantinya dengan hukum baru melalui firman-Nya:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka menunggu terhadap diri mereka selama empat bulan sepuluh hari. Setelah habis masa itu, maka tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka secara patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 234)

Dengan ayat ini, dua ketentuan terdahulu akhirnya dinasakh, masa berkabung yang semula setahun menjadi empat bulan sepuluh hari, dan kewajiban wasiat nafkah dari suami dihapuskan, karena hak istri kini ditetapkan secara pasti dalam ayat-ayat waris (faraidh). Allah ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ

“Dan bagi mereka (para istri) ada seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Tetapi jika kamu mempunyai anak, maka bagi mereka seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” (QS. Annisa: 12)

III.                Zina

Pada awal Islam, hukuman bagi para pezina atau pelaku penyimpangan dan kejahatan seksual belumlah berat. Allah memerintahkan agar mereka dikurung di rumah hingga mereka bertaubat dan memperbaiki diri. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا (15) وَٱلَّذَانِ يَأۡتِيَٰنِهَا مِنكُمۡ فَـَٔاذُوهُمَاۖ فَإِن تَابَا وَأَصۡلَحَا فَأَعۡرِضُواْ عَنۡهُمَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابٗا رَّحِيمًا (16)

“Dan terhadap para wanita yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka di dalam rumah sampai ajal menjemput mereka atau sampai Allah memberi jalan lain bagi mereka. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Tetapi jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Annisa: 15-16)

Kemudian hukum ini dihapus (nasakh) oleh Allah dengan turunnya firman-Nya dalam Surah An-Nūr ayat 2, yang menetapkan hukuman lebih tegas:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera. Janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang mukmin. (QS. Annur: 2)

Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga menetapkan hukuman rajam bagi pezina[7] muhshan (yang sudah menikah) dan hukuman mati bagi pelaku penyimpangan seksual sesama jenis (LGBT), meski tidak merinci bentuk eksekusinya. Namun, Imam Malik rahimahullah mengatakan hukumannya juga bisa dengan dirajam baik dia sudah menikah ataupun belum[8].

Pergantian dan Penyesuaian Hukum

Dari berbagai ayat dan ketetapan tersebut dapat dipahami bahwa sebagian hukum dalam Islam berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kesiapan umat. Ada hukum yang diganti dengan yang lebih berat, seperti hukuman zina yang semula kurungan menjadi cambuk atau rajam; ada pula yang diganti dengan yang lebih ringan, seperti masa ‘iddah wanita yang dipersingkat dari satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah: 234).

Awalnya, masyarakat Arab terbiasa dengan masa berkabung panjang bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, bahkan ada yang melakukannya seumur hidup. Maka, pengurangan masa ‘iddah ini turun secara bertahap, agar mudah diterima. Hukum lama dibatalkan perlahan, lalu hukum baru diberlakukan sesuai kondisi sosial masyarakat ketika itu.

Dengan demikian, perubahan hukum (nasakh) bukanlah kontradiksi, melainkan bentuk kasih sayang dan kebijaksanaan Allah yang menyesuaikan syariat dengan keadaan manusia demi kemaslahatan mereka. Setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, hukum-hukum syariat pun sempurna dan tidak lagi mungkin dihapus atau diganti.

Tujuan Penerapan Syariat

Setiap hukum dalam Islam memiliki tujuan dan hikmah yang mendidik manusia menuju ketakwaan, kemurnian jiwa, dan kehidupan sosial yang seimbang. Hal ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur’an, seperti:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا...

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka...” (QS. Attaubah: 103)

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ...

“Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui khamar dan judi...” (QS. Al Ma’idah: 91)

Hikmah di Balik Pembatalan Hukum

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga menjelaskan hikmah perubahan hukum dalam sabdanya:

قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ بِالْآخِرَةِ

“Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur, tetapi kini aku telah diizinkan menziarahi kubur ibuku. Maka ziarahilah kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i, dan Ahmad) [9]

Atas dasar inilah, Umar bin Khattab ra. menghentikan pembagian zakat kepada non-Muslim[10] yang diharapkan masuk Islam. Ia menjelaskan bahwa kebijakan itu dibutuhkan di masa awal dakwah Islam ketika umat masih lemah. Namun ketika Islam sudah kuat dan stabil, kebijakan itu tidak lagi relevan.

Pertimbangan kebutuhan manusia sangat tampak dalam metodologi penetapan hukum Islam. Bila suatu masalah manfaatnya tetap dan tidak berubah menurut waktu, seperti soal tata cara ibadah, pernikahan, perceraian, waris, atau delik pidana seperti pembunuhan, perzinahan, pencurian, dan fitnah, maka Allah menurunkan ketentuan yang jelas dan rinci. Ketentuan-ketentuan ini bersifat tetap karena sebab dan maslahatnya bersifat universal.

Di sisi lain, ada masalah-masalah yang manfaat atau mudharatnya dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, atau berubah seiring kondisi sosial dan ekonomi. Untuk kategori ini, syariat ditetapkan secara umum sehingga bisa diberlakukan dan diadaptasi oleh penguasa sesuai kebutuhan masyarakat. Contoh bidang yang seperti ini adalah hukum transaksi (muamalah) dan pengaturan struktur masyarakat. Prinsip umum itulah yang termaktub dalam firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

“Wahai orang-orang yang beriman: taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan taatlah kepada pemimpin di antara kamu.” (QS. ʿAli Imran: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mempertegas pentingnya ketaatan kepada pemimpin yang sah dalam masyarakat ketika Beliau bersabda:

 “Dengarkanlah dan taatilah, walau yang diangkat menjadi pemimpin atas kalian seorang budak Habasyi yang kepalanya seperti kismis.” (HR. Bukhari)

Pertimbangan penetapan hukum juga mencakup mengutamakan kemaslahatan umum ketimbang kepentingan individu dan memilih mencegah mudharat yang lebih besar dibanding mudharat yang lebih kecil. Contoh yang sering dibahas adalah praktek poligami: Islam membolehkan seorang pria menikah hingga empat istri, tetapi dengan batasan tanggung jawab yang ketat. Meskipun bagi banyak wanita poligami terasa menyakitkan, pada kondisi sosial tertentu poligami dianggap perlu untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Jadi syariat mengakui poligami terbatas demi kesejahteraan umum, sambil menekankan keadilan dan tanggung jawab suami terhadap istri-istrinya[11].

1.      Islam dan Misi Keadilan Universal

Syariat Islam memandang semua manusia sama di hadapan hukum: kewajiban dan tanggung jawab berlaku umum tanpa membedakan golongan. Al-Qur’an menegaskan prinsip keadilan dan amanah dalam banyak ayat, antara lain:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ....

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan berbuat kebajikan..” (QS. Annahl: 90)

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ....

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada Ahlinya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan suatu hukum di antara manusia kamu menetapkan dengan adil....” (QS. Annisa: 58)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah; sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Maidah: 8)

Contoh Penerapan Keadilan: Kasus Pencurian Kisah berikut menggambarkan bagaimana prinsip keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu pada masa kenabian. Suatu ketika seorang wanita terhormat dari kaum Makhzhum kedapatan mencuri. Karena rasa malu dan pengaruh kedudukannya, kaum Quraisy khawatir hukum tidak akan ditegakkan. Mereka minta Usamah bin Zaid yang dekat dengan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk memohon keringanan. Namun Nabi menolak intervensi tersebut dan bersabda:

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ؟فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؟ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ: «إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.

“Bahwa orang-orang Quraisy merasa sangat khawatir terhadap kasus seorang wanita dari Bani Makhzum yang telah mencuri. Mereka berkata: "Siapakah yang akan berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk (meminta keringanan hukuman) bagi wanita itu?" Mereka pun berkata: "Tidak ada yang berani berbicara dengan beliau kecuali Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam." Maka Usamah pun berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam (meminta agar wanita itu dimaafkan). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Apakah engkau hendak memberi syafaat dalam salah satu hukum (hudud) Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, seraya bersabda: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah: apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya; tetapi apabila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya.”



[1] Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Jilid 1:401, Perpusnas, 2014

[2] Idem, Jilid 1:402, Perpusnas, 2014

[3] Syarah Al Waraqat fii Ushuulu Al Fiqh, Imam Haramain Al Juwaini, Imam Jalaluddin Al Mahali, Cet. 3: 144-145. Qaf Media.

[4] Musnad Ad Darimi, Juz 4: 2063, Hadits 3305.

[5] QS. Annisa: 7,11-12, 33, dan 176

[6] An nasikh wal Mansukh fil Qur’anil ‘Aziz, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi, Juz 1:234.

[7] Al Umm, Juz 6:167

[8] Muwatha’ Malik, Mush’ah Az Zuhri, Juz 2:22, No. 1768

[9] ‘Umdatul Qari, Juz 7:69

[10] Al Mughni Li Ibnu Qudamah, Juz 9:317

[11] The Plural Marriage, Syaikh Bin Baaz, Authentic Statement Publishing, USA, 2017

Posting Komentar

0 Komentar