Dinamika Fikih: Jejak Perjalanan Hukum Fikih (Eps. 3)

Wahyu dan Kandungan Al-Qur’an

Ketika berada di Makkah, kaum Muslimin masih menjadi kelompok minoritas yang tertindas dan tidak memiliki kekuatan sosial apalagi kekuatan politik. Namun setelah hijrah ke Madinah, mereka berubah menjadi komunitas mayoritas yang memiliki kekuasaan dan kemandirian. Karena perbedaan kondisi ini, ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan pada kedua periode tersebut memiliki ciri khas dan karakter tersendiri yang membedakan antara ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah.

A.              Periode Makkah (609-622 M)

Periode ini dimulai sejak awal kenabian hingga hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa ini berfokus pada pembangunan fondasi keimanan dan penanaman nilai-nilai Islam dalam diri mereka yang baru mengenal ajaran tauhid. Tujuannya adalah mempersiapkan mereka agar memiliki keteguhan hati dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan ketika menegakkan nilai-nila Islam dalam tatanan kehidupan sosial. Karena itu, tema-tema ayat yang diturunkan di Makkah umumnya menitikberatkan pada penguatan akidah dan pengenalan terhadap keesaan Allah (Aqidah) serta keimanan (ibadah) dan kepada hari akhir.

1.               Tauhid (Aqidah)

Sejak masa jahiliyah, bangsa Arab sebenarnya telah mengenal adanya Dzat Maha Kuasa yang mereka sebut Allah. Namun, mereka menyekutukan-Nya dengan menambahkan sesembahan lain yang mereka yakini memiliki kekuatan serupa atau dapat menjadi perantara kepada-Nya. Karena itu, banyak ayat Makkiyah yang menegaskan keesaan Allah dan menolak keyakinan terhadap sesembahan selain-Nya yang tidak dapat memberi manfaat maupun mudarat.

Itulah di antara sebab mayoritas surat yang berbicara tentang tauhid dan perintah menjauhi kesyirikan semua turun ke kota Makkah. Di mulai surat Al ‘Alaq, Al Mudatstsir dan seterusnya yang berbicara tentang Rububiyah (keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pengatur segala hal), dan  Uluhiyah (meyakini Allah sebagai satu-satunya entitas yang berhak disembah).

2.           Keberadaan Allah

Pada awal dakwah Islam, selain menghadapi orang-orang musyrik, ternyata di sebagian masyarakat Makkah saat juga ada yang meragukan keberadaan Tuhan. Maka, ayat-ayat Makkiyah turun dengan membawa argumentasi logis yang mengajak manusia berpikir tentang tanda-tanda kebesaran dan ciptaan Allah di alam semesta sebagai bukti nyata keberadaan-Nya. Segala sesuatu di dunia ini di luar entitas yang disebut Tuhan tentunya memiliki sebab. Maka di antara ayat Makkiyah yang turun tentang menjawab keberadaan Allah adalah surat Ath Thur ayat 35-37

Di dalam Shahih Bukhari[1] diceritakan penyebab seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yakni Jubair bin Muth’im yang masuk Islam karena mendengar suara Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam saat menjadi imam shalat maghrib membaca ayat tersebut:

كَادَ قَلْبِي أَنْ يَطِيرَ. قَالَ سُفْيَانُ: فَأَمَّا أَنَا فَإِنَّمَا سَمِعْتُ الزُّهْرِيَّ يُحَدِّثُ عن مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عن أَبِيهِ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ. لَمْ أَسْمَعْهُ زَادَ الَّذِي قَالُوا لِي

“Hampir saja hatiku terbang (karena tergetar mendengar ayat itu).” Sufyan bin Uyainah mengatakan: ““Adapun aku, maka aku hanya mendengar az-Zuhrī meriwayatkan dari Muhammad bin Jubair bin Muṭ‘im, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam membaca Surah At-Thur dalam shalat Maghrib. Aku tidak mendengar tambahan seperti yang mereka katakan kepadaku.” (HR. Bukhari).

Jelas ayat itu berbicara tentang keberadaan Allah, menegaskan dengan logika yang tajam bahwa mustahil makhluk ada tanpa Pencipta, dan tidak mungkin pula mereka menciptakan diri mereka sendiri atau alam semesta ini. Karena itu, satu-satunya kesimpulan yang benar dan rasional adalah bahwa Allah benar-benar ada, Dialah satu-satunya Pencipta dan Penguasa seluruh alam. Bila mengutip terminologi filsafat, maka Allah-lah yang dimaksud dengan istilah The Causa Prima, namun tentunya kita tidak menggunakan term tersebut, sebab cukup dengan apa yang datang dari Islam.

3.           Keberadaan Akhirat

Pada periode Makkah ini Islam bukan saja mencoba membukti tentang eksistensi Allah jalla jalaaluh, akan tetapi juga hadir untuk membuktikan bahwa keberadaan akhirat tempat hidup berikutnya setelah dunia pun juga nyata. Namun, karena kehidupan akhirat merupakan hal gaib yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusia, maka diturunkanlah ayat-ayat yang menjelaskan keberadaan kehidupan akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik dan itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut:64)

Turunnya ayat ini dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat musyrik Makkah yang pikirannya telah tertutup perkara duniawi. Mereka berlomba-lomba bagaimana dapat meraih berbagai kekuasan, kenikmatan dan kelezatan duniawi[2], seakan-akan kehidupan ini kekal di mata mereka.

Kehadiran Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan Islamnya menyadarkan mereka tetang keberadaan Allah dan akhirat, agar mereka sadar bahwa setiap perbuatan manusia di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di kehidupan kelak (akhirat).

4.           Ibrah Kaum Sebelumnya

Dilanjutka pada periode ini Allah menurunkan wahyu yang berisi cerita kondisi kaum terdahulu yang banyak mendustai Allah. Dari sini kita akan faham kenapa akhirnya kita saksikan ayat-ayat makkiyah seringkali menyebutkan contoh kaum sebelumnya yang dibinasakan Allah, seperti kaum ‘Aad dan Tsamud.

Turunnya ayat yang berisi kisah ini untuk memperingatkan mereka yang menolak risalah Islam dan untuk mengajarkan orang-orang beriman tentang kebesaran Allah, dan penguat diri Nabi agar sabar menghadapi penolakan bahkan perlawanan dari mereka yang ingkar, karena hal yang sama juga dialamni oleh Nabi sebelumnya, di mana Nabi Hud ‘alayhissalam menghadapi pembangkangan kaum ‘Aad, lalu Nabi Shaleh ‘alayhissalam menghadapi pembangkangan kaum Tsamud.[3]

5.               Shalat

Shalat adalah syariat yang ditetapkan di periode Makkah, hanya saja sholat di masa ini bukanlah shalat sebagaimana yang kita Jalani saat ini. Di mana shalat di masa itu hanya dua kali sehari, yakni shalat subuh dan shalat isya[4]. Shalat adalah syariat wajib setelah seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat.

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada yang berhak disembah kecuali Aku, maka dirikanlah shalat untuk mengingatku” (QS. Thaha:14).

Surat ini turun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjali moment Isra’ Mi’raj. Baru setelah menjalani moment tersebut shalat baru shalat menjadi 5 kali sehari dengan fase yang sudah diterangkan di awal tulisan ini.

6.           Tantangan Terdahap Orang Kafir

Untuk membuktikan bahwa Al Quran berasal dari Tuhan, beberapa ayat makkiyah menantang orang-orang kafir dan musyrik untuk mendatangkan hal yang serupa, namun hingga kini satupun di antara mereka tidak ada yang mampu melakukannya. Tantangan Allah ini terdapat di dalam surat Al Isra ayat 88:

قُل لَّئِنِ ٱجْتَمَعَتِ ٱلْإِنسُ وَٱلْجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأْتُوا۟ بِمِثْلِ هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ

 “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya.” (QS. Al Isra’: 88)

Pada periode Makkah dapat kita pandang sebagai fase pembentukan fondasi aqidah dan spiritualitas dalam sejarah hukum Islam. Selama tiga belas tahun dakwah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam di Makkah, Al-Qur’an menekankan aspek keimanan (tauhid, hari akhir, dan kenabian) serta menanamkan nilai-nilai moral dasar yang menjadi landasan bagi lahirnya hukum Islam di fase berikutnya. Pada periode ini, wahyu yang turun belum banyak menyentuh tatanan sosial, muamalah, bahkan politik, sebab di fase ini kaum Muslimin masih berada pada tahap tashfiyah (purifikasi) dan tarbiyah (edukasi).

B.               Periode Madinah (622-632 M)

Periode Madinah merupakan fase penting dalam sejarah perkembangan Islam setelah fase Makkah. Periode ini dimulai dari hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ke Madinah dan berakhir dengan wafatnya beliau pada tahun 632 Masehi.

Bila fase Makkah merupakan tahap penyiapan aqidah (ideologi) dan ibadah (spiritual) bagi umat Islam agar mereka siap menerima beban (taklif) hukum syariat di kemudian hari, maka pada fase Madinah penanaman keimanan itu telah berbuah menjadi kekuatan sosial yang terorganisir. Setelah keimanan tertanam kuat dan komunitas muslim terbentuk, barulah Allah menurunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan sistem sosial, hukum, dan tatanan kehidupan bermasyarakat. Di sinilah titik awal perkembangan fikih Islam secara lebih konkret dan aplikatif mulai tampak.

Perlu juga menjadi perhatian bahwa ahyu-wahyu Madaniyah tetap meneguhkan keimanan dan tauhid seperti pada fase Makkah, namun penekanan utamanya terletak pada penerapan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat. Ayat-ayat tersebut membentuk dasar bagi hukum-hukum yang mengatur kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berinteraksi secara adil dalam kerangka syariat Islam.

a.           Hukum-hukum

Pada periode Madinahlah tiga pilar Islam disempurnakan, bila fase Makkah terfokus pada sisi Aqidah (belief) dan Ibadah (worship), maka pada fase Madinah mulai masuk ranah muamalah (Social Life)[5], seperti finalisasi pengharaman khamr, babi, judi, hukuman terhadap pezina, pembunuhan, dan juga hukum mencuri.

-               Pengharaman Khamr

Pengharaman khamr sendiri mengalami proses sebelum Allah menurunkan surat Al Maidah ayat 90-91:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنتَهُونَ (٩١)

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena khamr dan judi serta menghalangimu dari mengingat Allah dan salat. Maka tidakkah kamu akan berhenti?”

Ayat di atas adalah puncak pengharaman mutlak terhadap khamr yang turun di Madinah, sebelumnya Allah menurunkan wahyu Al Baqarah 219 ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mendapatkan pertanyaan dari kaum Anshar tentang khamr yang biasa mereka minum sebelum masuk Islam, maka turunlah ayat tersebut yang isinya berupa pesan moral dan mengajak berpikir.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’”

Dikarenakan masih ada narasi وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ maka Sebagian kaum Muslimin di Madinah masih ada yang mengkonsumsinya. Hingga terjadi satu momen seorang sahabat bernama Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu yang kacau ketika membaca surat Al Kaafiruun[6]. Sebagian mengatakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, namun pendapat ini dibantah oleh ulama, sebab isu ini dibuat oleh kaum Khawarij/Nashibi[7] kemudian hadits ini sendiri diriwatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: دَعَانَا رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ قَبْلَ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ، فَحَضَرَتْ صَلاَةُ الْمَغْرِبِ، فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقَرَأَ: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، فَالْتَبَسَ عَلَيْهِ، فَنَزَلَتْ: {وَلَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ} [النساء: ٤٣]

“Dari ‘Ali radhiyallāhu ‘anhu ia berkata: “Seorang laki-laki dari kaum Anshar mengundang kami (untuk makan dan minum) sebelum khamr (minuman memabukkan) diharamkan. Lalu tiba waktu salat Maghrib, maka seorang laki-laki maju menjadi imam dan membaca surat ‘قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ’ (‘Katakanlah: Hai orang-orang kafir’), namun bacaannya menjadi kacau (karena pengaruh mabuk). Maka turunlah ayat: “Dan janganlah kamu mendekati salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisā [4]: 43).” (HR. Al Hakim, dengan sanad yang shahih menurut Imam Adz Dzahabi)

Dari riwayat di atas ulama lain juga berpendapat bahwa tidak jelas siapa tokoh sahabat yang menjadi Imam sholat saat itu, dan sosok yang mengundang makan para sahabat. Namun inti pembahasan buka soal siapa, tapi tentang fase pengharaman khamr yang berproses. Maka, umat Islam di masa ini tentunya berpegan pada Al Maidah ayat 90-91.

-               Pengharaman Babi

Pengharaman babi juga ditegaskan dalam firman-Nya:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah.” (QS. Al-Maidah: 3)

Sebagian orang-orang pernah bertanya kepada penulis kenapa di masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sudah diturunkan ayat yang berisi pengharaman babi, sementara di Jazirah Arab tidak tertulis sejarah adanya peternakan babi, serta Arab Pra-Islam tidak ada tradisi memakan daging babi. Perlu diketahui bahwa pengharaman babi ini sudah menjadi tradisi wahyu Allah kepada para Nabi, yang dimulai kepada Nabi Musa ‘alayhissalam.

-               Pengharaman Judi (maysir)

Pengharaman judi serentak Allah subhanahu wa ta’ala turunkan bersamaan dengan pengharaman khamr, menyembah berhala, mengundi nasib dengan anak panah. Tertuang di dalam surat Al Ma’idah 90 yang Allah tegaskan sebagai bagian dari perbuatan setan.

-               Hukuman Bagi Pezina

Zina adalah salah satu dosa besar dan penyakit sosial yang sangat diperhatikan di dalam Islam, sehingga Islam dengan tegas menentukan hukum bagi pelaku zina. Allah menegaskan hal ini di dalam surat An Nur ayat 2:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍۢ

““Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera.”

Surat An Nur adalah surat Madaniyah yang mayoritas isinya berbicara tentang adab, moral, dan menjaga kehormatan.

-               Hukuman Bagi Pembunuh

Syariat Qishash mulai diberlakukan di Madinah, karena turunnya ayat perintah ini di periode Madinah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَىٰ

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu Qishash dalam kasus pembunuhan...” (QS. Al Baqarah: 178)

Qisash masuk kategori Jinayah (tindak pidana). Termasuk Zina juga masuk kategori hukum pidana yang memiliki konsekuensi hukuman (‘uqubah).

-               Hukuman Bagi Pencuri

Tidak pidana berikutnya yang memiliki konsekuensi berat adalah pencurian, yang pelanggaran satu ini akan menerima hudud. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًۭا مِّنَ ٱللَّهِ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatannya dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah: 38)

Itulah di antara beberapa perkara ayat-ayat yang berkaitan dengan Muamalah (Social Life) yang turun di Madinah, menjadi pedoman hukum bagi masyarakat muslim saat itu yang sudah mulai tumbuh pesat.

b.           Jihad

Selama periode Makkah, kaum Muslimin dilarang mengangkat senjata melawan musyrikin Makkah yang menindas mereka. Larangan ini bertujuan untuk menghindari pertumpahan darah serta melatih kesabaran dan keteguhan iman. Namun setelah hijrah ke Madinah, ketika jumlah kaum Muslimin telah bertambah dan kekuatan mereka mulai kokoh, Allah menurunkan izin untuk berperang sebagai bentuk pembelaan diri terhadap kezaliman yang menimpa mereka.

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (٣٩) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (٤٠)

"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah.’ Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al Hajj: 39-40)

c.            Ahlul Kitab

Di Madinah, untuk pertama kalinya kaum Muslimin berinteraksi dengan komunitas Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang cukup besar. Karena itu, banyak ayat Madaniyah yang turun untuk menjawab berbagai pertanyaan yang mereka ajukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. pertanyaan yang seringkali bertujuan untuk membingungkan beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam dan merendahkan ajaran Islam.

Selain itu, sejumlah ayat juga membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial dan politik bersama mereka, termasuk larangan bersekutu dalam aliansi yang merugikan umat Islam[8], serta ketentuan yang membolehkan pernikahan dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).[9]

d.           Kaum Munafik

Untuk pertama kali sejak turunnya risalah Islam, muncul sekelompok orang Arab yang secara lahiriah menyatakan keislaman, namun tidak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Sebagian dari mereka bahkan berniat meruntuhkan Islam dari dalam, karena pada masa itu kekuatan kaum Muslimin semakin besar sehingga mereka tidak mampu menentang kaum muslimin secara terbuka. Ada pula yang masuk Islam kemudian murtad, dengan tujuan menggoyahkan keimanan kaum muslimin.

Oleh sebab itu, beberapa ayat Madaniyah turun untuk membongkar tipu daya, rencana, dan makar mereka, serta memperingatkan kaum Muslimin agar waspada terhadap bahaya kemunafikan. Selain itu, sebagian ayat juga menetapkan dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan orang-orang yang murtad dan pengkhianat dari dalam barisan Islam.

Allah ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 8–9:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ۝ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal mereka itu sebenarnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.” (QS. Al-Baqarah: 8–9)

Lalu peringatan Allah ta’ala dalam surat Al Munafiqun ayat 1-2:

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ ۝ اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya, tetapi Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah. Sungguh, amat buruk apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Munāfiqūn: 1–2)”.

Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar kandungan Al-Qur’an terbagi ke dalam tiga pokok utama:

a.           Akidah (Keimanan)

Berisi ajaran tentang keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan hari akhir. Ilmu yang mempelajari pokok ini disebut dengan Ilmu ‘Aqidah atau Ilmu Kalam, yang menjadi dasar teologis bagi seluruh ajaran Islam.

b.           Akhlak (Etika dan Pembinaan Jiwa)

Mencakup petunjuk mengenai amal hati, kebersihan jiwa, serta tuntunan moral dalam membentuk akhlak mulia. Bidang ini menjadi inti dari Ilmu Akhlaq yang menata perilaku dan karakter seorang Muslim agar selaras dengan nilai-nilai Allah.

c.          Syari‘ah (Hukum dan Amal Perbuatan)

Berisi ketentuan mengenai amalan lahiriah manusia, mencakup perintah dan larangan, hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Ilmu yang membahas bagian ini dikenal dengan Ilmu Fikih, yang meliputi bidang hukum seperti ibadah, muamalah, jinayah, dan lainnya.

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa turunnya wahyu Al-Qur’an berlangsung secara bertahap dengan tujuan pembinaan yang matang dan penuh hikmah. Fase Makkah menanamkan fondasi akidah dan keteguhan spiritual umat, sementara fase Madinah menegakkan sistem hukum dan tatanan sosial yang berkeadilan. Proses ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak lahir secara instan, melainkan tumbuh bertahap dalam bingkai tarbiyah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Setiap wahyu yang hadir bukan sekadar sebagai teks, melainkan cahaya yang menuntun manusia menuju kehidupan yang teratur, bermartabat, dan bernilai ibadah. Karena itu, memahami kandungan Al Qur’an secara tematik dan kronologis merupakan langkah penting sebelum menelusuri sumber hukum Islam berikutnya.



[1] Shahih Bukhari, Hadits No. 4854, Juz 4:269

[2] Fathurrahman Fii Tafsiril Quran, Juz 5:263

[3] QS. 7:65-72 dan 73-79

[4] Fathul Bari Ibnu Rajab Al Hanbali, Juz 2:304

[5] Towards Undestading Islam, Sayyid Abul A’la Al Mawdhudi, Lahore, 1960

[6] Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, No. 5017, Juz 8:380-381, Daarul Fikr

[7] Mustadrak ‘alaa Ash Shahihain Al Hakim, Juz 2:336

[8] QS. Al Ma’idah (5): 51

[9] QS. Al Ma’idah (5): 5



Posting Komentar

0 Komentar