Dinamika Fikih: Jejak Perjalanan Hukum Fikih (Eps. 4)

Kandungan Hukum Al Quran

Hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Al-Qur’an mencakup berbagai macam amalan yang Allah Jalla Jalaluh perintahkan kepada manusia. Secara umum, hukum-hukum tersebut dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar:

1. Hukum antara manusia dengan Allah (ibadah).

Yaitu segala bentuk ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabb-nya. Ibadah hanya diterima bila disertai dengan niat yang benar dan sesuai tuntunan syariat. Bentuk-bentuknya meliputi:

-    Ibadah murni spiritual, seperti shalat dan puasa.

-    Ibadah sosial-ekonomis, seperti zakat.

-    Ibadah fisik dan finansial, seperti haji.

Keempat ibadah ini merupakan rukun Islam setelah dua kalimat syahadat, yang menjadi fondasi amal seluruh Muslim.

2. Hukum antara manusia dengan sesamanya (muamalah).

Hukum-hukum ini mengatur hubungan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan, yang terbagi menjadi empat bidang utama:

  • Hukum yang menjamin dan memperjuangkan eksistensi Islam, seperti jihad dan segala upaya mempertahankan agama.
  • Hukum keluarga (ahwal syakhshiyyah) yang mengatur pernikahan, perceraian, serta warisan demi menjaga kemurnian nasab.
  • Hukum muamalah, yang mengatur interaksi ekonomi seperti jual beli, sewa, dan akad-akad lainnya.
  • Hukum pidana (jinayah), yang menetapkan aturan terhadap pelanggaran dan tindak kriminal untuk menjaga keamanan serta keadilan masyarakat.

Terlihat jelas jelas bahwa Al Quran bukan hanya kitab petunjuk spiritual (ibadah), tetapi juga pedoman hukum dan sosial yang menyeluruh. Bagaimana Islam menata hubungan manusia dengan Tuhannya, sekaligus menegakkan keadilan di antara sesame manusia. Inilah bukti bahwa syariat Islam dibangun secara seimbang antara ibadah dan muamalah, antara hak Allah dan hak manusia, guna membentuk masyarakat beriman yang adil dan beradab.

Dasar-dasar Penetapan Hukum Islam

Al Quran menjelaskan bahwa tujuan utama diturunkannya wahyu adalah untuk memperbaiki kondisi manusia. Islam tidak datang untuk menghapus seluruh adat istiadat pra-Islam, melainkan untuk menyaring dan meluruskan nilai-nilai yang menyimpang. Segala bentuk tradisi yang mengandung kecurangan, ketidakadilan, dan kemudaratan bagi masyarakat dihapuskan, sedangkan nilai-nilai yang membawa manfaat dipertahankan dan disempurnakan.

Karena itu, hukum-hukum Islam melarang riba, sebab praktik tersebut mengambil keuntungan secara zalim dari orang-orang lemah. Zina diharamkan karena menodai kehormatan, merusak rumah tangga, dan melemahkan sendi-sendi moral masyarakat. Khamr (minuma keras) dilarang karena dampak buruknya terhadap fisik, mental, dan spiritual, yang dapat menimbulkan kerusakan baik pada individu maupun pada masyarakat luas.

Dalam bidang ekonomi, Islam membenahi prisip perdagangan dengan menjadikan kerelaan dan kesepakatan bersama sebagai dasar transaksi, serta melarang segala bentuk penipuan dan manipulasi. Pernikahan, yang sudah dikenal dalam masyarakat Arab sebelum Islam, diatur kembali dengan menetapkan bentuk yang sah dan melarang bentuk-bentuk hubungan yang pada hakikatnya merupakan perzinaan atau penyimpangan[1]. Perceraian pun dibatasi agar tidak dijadikan alat penindasan dan penyalahgunaan.

Islam tidak datang untuk menghancurkan peradaban manusia, tetapi untuk membangunnya di atas fondasi moral yang lebih luhur. Islam memandang segala sesuatu dari sudut kemaslahatan manusia, apa yang membahayakan dihapuskan, dan apa yang membawa kebaikan ditegakkan serta diperkuat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dia menyuruh mereka mengerjakan yang makruf, melarang mereka dari yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’raf {7}:157)

Islam pada hakikatnya adalah agama pembangun, bukan penghancur, karena tujuannya adalah islah (reformasi), bukan semata-mata pengendalian dan pengaturan. Namun, perlu dicatat bahwa penerimaan Islam terhadap sebagian adat Arab tidak berarti Islam mengambil sumber hukum dari tradisi tersebut. Praktik-praktik yang dibenarkan oleh Islam tetap merupakan bagian dari hukum Ilahi dengan alasan-alasan berikut:

  • Sebagian bentuk ibadah memang telah diwariskan dari umat terdahulu yang diutus para nabi sebelumnya. Contoh yang paling jelas adalah ibadah haji, yang berasal dari syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alayhimassalam.
  • Rukun-rukun Islam tidak bertentangan dengan akal sehat manusia. Islam menghargai daya pikir, mendorong kebebasan berpikir, dan mengakui hasil kerja manusia yang bermanfaat sebagai bagian dari amal saleh.
  • Praktik-praktik baru yang dibutuhkan oleh manusia dapat ditetapkan Islam sebagai hukum baru, selama sejalan dengan prinsip kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariat.

Walau demikian, jumlah ibadah yang diterima dan disetujui Islam dari masa pra-Islam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditolak. Bahkan dari yang sedikit itu pun, sebagian besar telah disempurnakan bentuk dan aturannya, hanya fondasinya saja yang tetap dipertahankan sebagaimana aslinya.

Untuk mencapai tujuan reformasinya, Islam menetapkan serangkaian perintah dan larangan yang menata kehidupan sosial dan spiritual umat. Dalam penerapan hukum-hukumnya, Al-Qur’an mempertimbangkan beberapa prinsip dasar, di antaranya:

    1.    Menghilangkan Kesulitan

Hukum Islam diturunkan demi kesejahteraan dan kemudahan hidup manusia, bukan untuk menambah beban mereka. Islam memberi pedoman agar manusia menjalani kehidupannya dengan adil, berimbang, dan berorientasi kepada ibadah.

Syariat tidak dimaksudkan untuk mempersulit manusia, melainkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial secara proporsional. Salah satu prinsip pokok dalam Islam adalah penghapusan kesulitan (raf‘ul haraj), sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai ayat Al-Qur’an:

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah senantiasi menghendaki kemudahan bagimu dan dia tidak pernah berkehendak menyusahkanmu” (QS. Al Baqarah: 185)

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا

“Allah menginginkan keringan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS. Annisa: 28)

وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ...

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (QS. Al Hajj: 78)

Karena itulah, Allah jalla jalaaluh memberikan beberapa keringanan kepada hamba-Nya. Misalnya, orang yang berpuasa boleh berbuka dalam kondisi tertentu, seseorang yang sedang bepergian boleh meringkas (qashar) dan menggabungkan (jama’) shalat, bahkan dalam keadaan darurat diperbolehkan mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya diharamkan.

فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ...

“Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengajar berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah: 3)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sebagai teladan terbaik dalam penerapan hukum Islam, sering kali memilih jalan yang paling mudah di antara dua pilihan, selama pilihan itu tidak mengandung dosa. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ‌بَيْنَ ‌أَمْرَيْنِ ‌قَطُّ ‌إِلَّا ‌اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ

“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam diberi pilihan antara dua perkara, melainkan beliau selalu memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama hal itu tidak mengandung dosa. Namun, apabila yang mudah itu mengandung dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Ahmad)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga pernah secara langsung berpesan kepada 2 sahabat yang diutus sebagai Gubernur di Yaman[2], sebagaimana dalam hadits dikatakan:

بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَبَا مُوسَى وَمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ لَهُمَا: " ‌يَسِّرَا ‌وَلَا ‌تُعَسِّرَا، ‌وَبَشِّرَا ‌وَلَا ‌تُنَفِّرَا، وَتَطَاوَعَا

“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengutus Abu Musa dan Mu‘adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma ke negeri Yaman. Lalu beliau bersabda kepada keduanya: ‘Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari, serta saling taatilah (bekerjasamalah) kalian berdua.’” (HR. Ahmad)

Para ulama sepakat bahwa kaidah ini merupakan salah satu prinsip pokok yang menjadi pijakan utama dalam penerapan hukum. Karena itu, banyak ketentuan fikih yang mereka rumuskan bersumber dari landasan kaidah tersebut.

    2.    Pengurangan Kewajiban

Konsekuensi logis dari kaidah sebelumnya adalah berkurangnya jumlah amalan yang bersifat wajib. Karena itu, hal-hal yang diharamkan dalam syariat jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang diperbolehkan, baik secara langsung maupun melalui ketiadaan larangan. Prinsip ini terlihat jelas dari metode Al-Qur’an dalam mengatur perkara halal dan haram.

Dalam menetapkan yang haram, Al-Qur’an menyebutkannya secara rinci, sedangkan hal-hal yang halal tidak dirinci karena jumlahnya sangat banyak. Sebagai contoh, dalam masalah perempuan yang haram dinikahi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُ ....

“Diharamkan bagimu ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu (bibi dari pihak ayah), saudara-saudara perempuan ibumu (bibi dari pihak ibu)...” (QS. Annisa: 23)

Kemudian Allah ta’ala menegaskan:

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain dari (perempuan-perempuan) yang demikian itu, dengan cara kamu mencari (istri) dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina (melampiaskan syahwat secara bebas).” (QS. Annisa: 24)

Keringanan dari Allah dalam hal makan, di mana Allah mengatakan di dalam Al Quran

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ

“Diharamkan bagimu bangkai, darah[3], daging babi, dan apa-apa yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al Maidah: 3)

Sebaliknya, untuk makanan yang dihalalkan bagi manusia, Allah berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan sembelihan orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu…” (QS. Al Maidah: 5)

Selain itu, apa yang diharamkan Allah jumlahnya memang tidak banyak. Bahkan, dalam kondisi terpaksa, larangan itu bisa dimaafkan. Allah Jalla Jalaluh telah beberapa kali menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an, antara lain dalam ayat berikut:

فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, makan tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173)

Selain itu, penting dipahami bahwa syariat Islam tidak dibuat dengan rincian yang berlebihan, melainkan dengan tujuan memudahkan para pengikutnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam sejumlah ayat, di antaranya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَسۡـَٔلُواْ عَنۡ أَشۡيَآءَ إِن تُبۡدَ لَكُمۡ تَسُؤۡكُمۡ وَإِن تَسۡـَٔلُواْ عَنۡهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلۡقُرۡءَانُ تُبۡدَ لَكُمۡ عَفَا ٱللَّهُ عَنۡهَاۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٞ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. Tetapi jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan dijelaskan kepadamu. Allah telah memaafkan hal-hal itu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101)

Pertanyaan yang dilarang ialah pertanyaan yang menyebabkan lahirnya ketetapan hukum baru, karena sebelumnya Allah membiarkan perkara itu sebagai pilihan. Jika tidak ditanyakan, niscaya hal tersebut tidak akan diwajibkan. Contohnya terjadi ketika seorang sahabat berulang kali bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam apakah haji diwajibkan setiap tahun[4]. Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam kemudian bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَفِي كُلِّ عَامٍ، حَتَّى قَالَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُعْرِضُ عَنْهُ، ثُمَّ قَالَ: ‌لَوْ ‌قُلْتُ ‌نَعَمْ ‌لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَّا قُمْتُمْ بِهِ، ثُمَّ قَالَ: ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَمَا أَمَرْتُكُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian ibadah haji.” Maka berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, “Apakah (haji itu wajib) setiap tahun, wahai Rasulullah?” Ia mengulang pertanyaan itu sampai tiga kali, sementara Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berpaling darinya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Seandainya aku katakan ‘ya’, niscaya itu akan diwajibkan atas kalian, dan jika telah diwajibkan, kalian pasti tidak akan sanggup melaksanakannya.” Lalu beliau menambahkan: “Biarkanlah aku selama aku tidak memerintahkan kalian (dengan sesuatu). Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, kerjakanlah semampu kalian, dan apabila aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia.”[5]

Tampak jelas hadits ini memberi pelajaran penting tentang sikap kehati-hatian dalam bertanya perkara agama, agar tidak menimbulkan suatu perkara hukum yang justru memberatkan umat.

Contoh lain dapat ditemukan dalam hukum mu‘āmalah (hubungan sosial-ekonomi), seperti jual beli. Dalam perkara ini, syariat Islam tidak menjelaskan secara rinci bentuk dan mekanisme setiap transaksi, melainkan memberikan ketentuan umum yang menjadi pedoman dasar, agar prinsip keadilan dan kejujuran tetap terjaga di setiap masa dan kondisi. Dengan begitu, Islam memberikan ruang bagi manusia untuk berinovasi dan menyesuaikan praktik ekonomi sesuai perkembangan zaman, selama tidak melanggar batas syariat.

Allah Subḥanahu wa ta‘ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad (perjanjian) itu.” (QS. Al Maidah: 1)

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu...” (QS. Annisa: 29)

Di dalam ayat-ayat ini menegaskan bahwa Islam mengakui prinsip kebebasan ekonomi selama dilakukan dengan cara yang benar dan tidak merugikan pihak lain. Prinsip ini menunjukkan betapa fleksibelnya syariat Islam, ia tidak mengikat umatnya dengan bentuk transaksi tertentu, tetapi menanamkan nilai moral, seperti ridha (kerelaan), ‘adl (keadilan), dan larangan dzhulm (kezaliman).

Dengan demikian, terlihat bahwa dalam bidang mu‘amalah, syariat Islam menempuh jalan yang fleksibel (washitiyah): tidak kaku, dan memberi ruang penyesuaian (bukan liberal, tapi juga tidak ekstrem kaku). Inilah keseimbangan yang menjadi ciri khas hukum Islam antara kebebasan dan tanggung jawab, antara dunia dan akhirat.

    3.    Syariat Islam dan Kemaslahatan Manusia

Karena syariat Islam diturunkan demi kemaslahatan dan kebaikan umat manusia, maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam diutus sebagai rasul terakhir yang membawa risalah universal bagi seluruh manusia hingga akhir zaman. Risalah beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak terbatas pada satu kaum atau bangsa tertentu sebagaimana para nabi sebelumnya, tetapi meliputi seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku, atau wilayah.

Hal ini ditegaskan oleh Allah Subḥanahu wa ta‘ala dalam firman-Nya:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ

““Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.’” (QS. Al A’raf: 158)

Dengan demikian, tujuan akhir dari syariat Islam bukan semata mengatur ritual ibadah, tetapi juga menata kehidupan sosial agar terwujud keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), dan kesejahteraan (sa’adah). Syariat ini datang untuk memperbaiki kondisi manusia. Baik secara moral, spiritual, maupun sosial, sehingga kehidupan di dunia menjadi harmonis dan kehidupan akhirat dapat diraih dengan selamat.



[1] Fiqh Sunnah Wanita, Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, Hal. 506-511, Griya Ilmu

[2] Musnad Ahmad, Juz 32:518, No. 19741

[3] Haram menampung darah hewan sembelihan untuk dimakana. Lih. QS. Al An’am 145

[4] Tarikh Tasyri, Muhammad Al Khudhari, Cet. 8:17, Daarul Fikr

[5] Musnad Ishaq ibn Rahwaih, Juz 1:134, No. 60


Posting Komentar

0 Komentar