Hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Al-Qur’an mencakup berbagai macam amalan yang Allah Jalla Jalaluh perintahkan kepada manusia. Secara umum, hukum-hukum tersebut dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar:
1. Hukum antara manusia dengan Allah (ibadah).
Yaitu segala bentuk ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabb-nya. Ibadah hanya diterima bila disertai dengan niat yang benar dan sesuai tuntunan syariat. Bentuk-bentuknya meliputi:
- Ibadah murni spiritual, seperti shalat dan puasa.
- Ibadah sosial-ekonomis, seperti zakat.
- Ibadah fisik dan finansial, seperti haji.
Keempat ibadah ini merupakan rukun Islam setelah dua kalimat syahadat, yang menjadi fondasi amal seluruh Muslim.
2. Hukum antara manusia dengan sesamanya (muamalah).
Hukum-hukum ini mengatur hubungan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan, yang terbagi menjadi empat bidang utama:
- Hukum yang menjamin dan memperjuangkan eksistensi Islam, seperti jihad dan segala upaya mempertahankan agama.
- Hukum keluarga (ahwal syakhshiyyah) yang mengatur pernikahan, perceraian, serta warisan demi menjaga kemurnian nasab.
- Hukum muamalah, yang mengatur interaksi ekonomi seperti jual beli, sewa, dan akad-akad lainnya.
- Hukum pidana (jinayah), yang menetapkan aturan terhadap pelanggaran dan tindak kriminal untuk menjaga keamanan serta keadilan masyarakat.
Terlihat jelas jelas bahwa Al Quran bukan hanya kitab petunjuk spiritual
(ibadah), tetapi juga pedoman hukum dan sosial yang menyeluruh. Bagaimana Islam
menata hubungan manusia dengan Tuhannya, sekaligus menegakkan keadilan di
antara sesame manusia. Inilah bukti bahwa syariat Islam dibangun secara seimbang
antara ibadah dan muamalah, antara hak Allah dan hak manusia, guna membentuk
masyarakat beriman yang adil dan beradab.
Dasar-dasar Penetapan Hukum Islam
Al Quran menjelaskan bahwa tujuan utama diturunkannya wahyu adalah untuk
memperbaiki kondisi manusia. Islam tidak datang untuk menghapus seluruh adat
istiadat pra-Islam, melainkan untuk menyaring dan meluruskan nilai-nilai yang
menyimpang. Segala bentuk tradisi yang mengandung kecurangan, ketidakadilan,
dan kemudaratan bagi masyarakat dihapuskan, sedangkan nilai-nilai yang membawa
manfaat dipertahankan dan disempurnakan.
Karena itu, hukum-hukum Islam melarang riba, sebab praktik
tersebut mengambil keuntungan secara zalim dari orang-orang lemah. Zina
diharamkan karena menodai kehormatan, merusak rumah tangga, dan melemahkan
sendi-sendi moral masyarakat. Khamr (minuma keras) dilarang
karena dampak buruknya terhadap fisik, mental, dan spiritual, yang dapat
menimbulkan kerusakan baik pada individu maupun pada masyarakat luas.
Dalam bidang ekonomi, Islam membenahi prisip perdagangan dengan
menjadikan kerelaan dan kesepakatan bersama sebagai dasar transaksi, serta
melarang segala bentuk penipuan dan manipulasi. Pernikahan, yang sudah
dikenal dalam masyarakat Arab sebelum Islam, diatur kembali dengan menetapkan
bentuk yang sah dan melarang bentuk-bentuk hubungan yang pada hakikatnya
merupakan perzinaan atau penyimpangan[1].
Perceraian pun dibatasi agar tidak dijadikan alat penindasan dan
penyalahgunaan.
Islam tidak datang untuk menghancurkan peradaban manusia, tetapi untuk
membangunnya di atas fondasi moral yang lebih luhur. Islam memandang segala
sesuatu dari sudut kemaslahatan manusia, apa yang membahayakan dihapuskan, dan
apa yang membawa kebaikan ditegakkan serta diperkuat. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
يَأْمُرُهُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ…
“Dia menyuruh mereka mengerjakan yang makruf, melarang mereka dari yang
mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’raf {7}:157)
Islam pada hakikatnya adalah agama pembangun, bukan penghancur, karena tujuannya adalah islah (reformasi), bukan semata-mata pengendalian dan pengaturan. Namun, perlu dicatat bahwa penerimaan Islam terhadap sebagian adat Arab tidak berarti Islam mengambil sumber hukum dari tradisi tersebut. Praktik-praktik yang dibenarkan oleh Islam tetap merupakan bagian dari hukum Ilahi dengan alasan-alasan berikut:
- Sebagian bentuk ibadah memang telah diwariskan dari umat terdahulu yang diutus para nabi sebelumnya. Contoh yang paling jelas adalah ibadah haji, yang berasal dari syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alayhimassalam.
- Rukun-rukun Islam tidak bertentangan dengan akal sehat manusia. Islam menghargai daya pikir, mendorong kebebasan berpikir, dan mengakui hasil kerja manusia yang bermanfaat sebagai bagian dari amal saleh.
- Praktik-praktik baru yang dibutuhkan oleh manusia dapat ditetapkan Islam sebagai hukum baru, selama sejalan dengan prinsip kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariat.
Walau demikian, jumlah ibadah yang diterima dan disetujui Islam dari
masa pra-Islam jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditolak. Bahkan dari
yang sedikit itu pun, sebagian besar telah disempurnakan bentuk dan aturannya,
hanya fondasinya saja yang tetap dipertahankan sebagaimana aslinya.
Untuk mencapai tujuan reformasinya, Islam menetapkan serangkaian perintah dan larangan yang menata kehidupan sosial dan spiritual umat. Dalam penerapan hukum-hukumnya, Al-Qur’an mempertimbangkan beberapa prinsip dasar, di antaranya:
1. Menghilangkan Kesulitan
Hukum Islam diturunkan demi kesejahteraan dan kemudahan hidup manusia,
bukan untuk menambah beban mereka. Islam memberi pedoman agar manusia menjalani
kehidupannya dengan adil, berimbang, dan berorientasi kepada ibadah.
Syariat tidak dimaksudkan untuk mempersulit manusia, melainkan untuk
memenuhi kebutuhan individu dan sosial secara proporsional. Salah satu prinsip
pokok dalam Islam adalah penghapusan kesulitan (raf‘ul haraj),
sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai ayat Al-Qur’an:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ
ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah senantiasi
menghendaki kemudahan bagimu dan dia tidak pernah berkehendak menyusahkanmu”
(QS. Al Baqarah: 185)
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا
إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al
Baqarah: 286)
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ
عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا
“Allah menginginkan
keringan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS. Annisa: 28)
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي
ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ...
“Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (QS. Al Hajj: 78)
Karena itulah, Allah jalla
jalaaluh memberikan beberapa keringanan kepada hamba-Nya. Misalnya, orang
yang berpuasa boleh berbuka dalam kondisi tertentu, seseorang yang sedang
bepergian boleh meringkas (qashar) dan menggabungkan (jama’) shalat,
bahkan dalam keadaan darurat diperbolehkan mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya
diharamkan.
فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ
غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ...
“Maka barangsiapa terpaksa
karena kelaparan tanpa sengajar berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah: 3)
Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam sebagai teladan terbaik dalam penerapan hukum Islam,
sering kali memilih jalan yang paling mudah di antara dua pilihan, selama
pilihan itu tidak mengandung dosa. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ
أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا،
فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam diberi pilihan antara dua perkara, melainkan beliau selalu memilih
yang lebih mudah di antara keduanya, selama hal itu tidak mengandung dosa.
Namun, apabila yang mudah itu mengandung dosa, maka beliau adalah orang yang
paling jauh darinya.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
juga pernah secara langsung berpesan kepada 2 sahabat yang diutus sebagai
Gubernur di Yaman[2],
sebagaimana dalam hadits dikatakan:
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَبَا
مُوسَى وَمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ لَهُمَا: " يَسِّرَا
وَلَا تُعَسِّرَا، وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَتَطَاوَعَا
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengutus
Abu Musa dan Mu‘adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma ke negeri Yaman. Lalu
beliau bersabda kepada keduanya: ‘Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah
kabar gembira dan jangan membuat orang lari, serta saling taatilah
(bekerjasamalah) kalian berdua.’” (HR. Ahmad)
Para ulama sepakat bahwa kaidah ini merupakan salah satu prinsip pokok yang menjadi pijakan utama dalam penerapan hukum. Karena itu, banyak ketentuan fikih yang mereka rumuskan bersumber dari landasan kaidah tersebut.
2. Pengurangan Kewajiban
Konsekuensi logis dari kaidah sebelumnya adalah
berkurangnya jumlah amalan yang bersifat wajib. Karena itu, hal-hal yang
diharamkan dalam syariat jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang
diperbolehkan, baik secara langsung maupun melalui ketiadaan larangan. Prinsip
ini terlihat jelas dari metode Al-Qur’an dalam mengatur perkara halal dan
haram.
Dalam menetapkan yang haram, Al-Qur’an
menyebutkannya secara rinci, sedangkan hal-hal yang halal tidak dirinci karena
jumlahnya sangat banyak. Sebagai contoh, dalam masalah perempuan yang haram
dinikahi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ
وَخَٰلَٰتُكُ ....
“Diharamkan
bagimu ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan ayahmu (bibi dari pihak ayah), saudara-saudara
perempuan ibumu (bibi dari pihak ibu)...” (QS. Annisa: 23)
Kemudian Allah ta’ala menegaskan:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن
تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain dari
(perempuan-perempuan) yang demikian itu, dengan cara kamu mencari (istri)
dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina (melampiaskan syahwat secara
bebas).” (QS. Annisa: 24)
Keringanan dari Allah dalam hal makan, di mana
Allah mengatakan di dalam Al Quran
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ
ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ
“Diharamkan bagimu bangkai, darah[3], daging
babi, dan apa-apa yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al Maidah: 3)
Sebaliknya, untuk makanan yang dihalalkan bagi
manusia, Allah berfirman:
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ
أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan sembelihan orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu…” (QS. Al
Maidah: 5)
Selain itu, apa yang diharamkan Allah jumlahnya
memang tidak banyak. Bahkan, dalam kondisi terpaksa, larangan itu bisa
dimaafkan. Allah Jalla Jalaluh telah beberapa kali menegaskan hal ini
dalam Al-Qur’an, antara lain dalam ayat berikut:
فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ
إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,
makan tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173)
Selain itu, penting dipahami bahwa syariat Islam
tidak dibuat dengan rincian yang berlebihan, melainkan dengan tujuan memudahkan
para pengikutnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam sejumlah ayat, di antaranya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَسۡـَٔلُواْ
عَنۡ أَشۡيَآءَ إِن تُبۡدَ لَكُمۡ تَسُؤۡكُمۡ وَإِن تَسۡـَٔلُواْ عَنۡهَا حِينَ
يُنَزَّلُ ٱلۡقُرۡءَانُ تُبۡدَ لَكُمۡ عَفَا ٱللَّهُ عَنۡهَاۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ
حَلِيمٞ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. Tetapi
jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan
dijelaskan kepadamu. Allah telah memaafkan hal-hal itu. Allah Maha Pengampun,
Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101)
Pertanyaan yang dilarang ialah pertanyaan yang
menyebabkan lahirnya ketetapan hukum baru, karena sebelumnya Allah membiarkan
perkara itu sebagai pilihan. Jika tidak ditanyakan, niscaya hal tersebut tidak
akan diwajibkan. Contohnya terjadi ketika seorang sahabat berulang kali
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam apakah haji
diwajibkan setiap tahun[4]. Beliau shallallahu
‘alayhi wa sallam kemudian bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ
عَلَيْكُمُ الْحَجَّ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَفِي كُلِّ عَامٍ، حَتَّى قَالَ
ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُعْرِضُ عَنْهُ،
ثُمَّ قَالَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَّا قُمْتُمْ
بِهِ، ثُمَّ قَالَ: ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَمَا
أَمَرْتُكُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
atas kalian ibadah haji.” Maka berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, “Apakah
(haji itu wajib) setiap tahun, wahai Rasulullah?” Ia
mengulang pertanyaan itu sampai tiga kali, sementara Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam berpaling darinya. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda: “Seandainya aku katakan ‘ya’, niscaya itu
akan diwajibkan atas kalian, dan jika telah diwajibkan, kalian pasti tidak akan
sanggup melaksanakannya.” Lalu beliau menambahkan: “Biarkanlah aku
selama aku tidak memerintahkan kalian (dengan sesuatu). Sesungguhnya yang
membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih
dengan nabi-nabi mereka. Maka apabila aku
memerintahkan kalian suatu perkara, kerjakanlah semampu kalian, dan apabila aku
melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia.”[5]
Tampak jelas hadits ini memberi pelajaran penting
tentang sikap kehati-hatian dalam bertanya perkara agama, agar tidak menimbulkan
suatu perkara hukum yang justru memberatkan umat.
Contoh lain dapat ditemukan dalam hukum mu‘āmalah
(hubungan sosial-ekonomi), seperti jual beli. Dalam perkara ini, syariat Islam
tidak menjelaskan secara rinci bentuk dan mekanisme setiap transaksi, melainkan
memberikan ketentuan umum yang menjadi pedoman dasar, agar prinsip keadilan dan
kejujuran tetap terjaga di setiap masa dan kondisi. Dengan begitu, Islam
memberikan ruang bagi manusia untuk berinovasi dan menyesuaikan praktik ekonomi
sesuai perkembangan zaman, selama tidak melanggar batas syariat.
Allah Subḥanahu wa ta‘ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah
akad-akad (perjanjian) itu.” (QS. Al Maidah: 1)
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ
أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ
مِّنكُمۡۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu...” (QS. Annisa:
29)
Di dalam ayat-ayat ini menegaskan bahwa Islam
mengakui prinsip kebebasan ekonomi selama dilakukan dengan cara yang benar dan
tidak merugikan pihak lain. Prinsip ini menunjukkan betapa fleksibelnya syariat
Islam, ia tidak mengikat umatnya dengan bentuk transaksi tertentu, tetapi
menanamkan nilai moral, seperti ridha (kerelaan), ‘adl
(keadilan), dan larangan dzhulm (kezaliman).
Dengan demikian, terlihat bahwa dalam bidang mu‘amalah, syariat Islam menempuh jalan yang fleksibel (washitiyah): tidak kaku, dan memberi ruang penyesuaian (bukan liberal, tapi juga tidak ekstrem kaku). Inilah keseimbangan yang menjadi ciri khas hukum Islam antara kebebasan dan tanggung jawab, antara dunia dan akhirat.
3. Syariat Islam dan Kemaslahatan Manusia
Karena syariat Islam diturunkan demi kemaslahatan
dan kebaikan umat manusia, maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam
diutus sebagai rasul terakhir yang membawa risalah universal bagi seluruh
manusia hingga akhir zaman. Risalah beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam
tidak terbatas pada satu kaum atau bangsa tertentu sebagaimana para nabi
sebelumnya, tetapi meliputi seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku,
atau wilayah.
Hal ini ditegaskan oleh Allah Subḥanahu wa ta‘ala
dalam firman-Nya:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ
بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
““Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Saba’:
28)
Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ
إِلَيۡكُمۡ جَمِيعًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.’” (QS. Al A’raf: 158)
Dengan demikian, tujuan akhir dari syariat Islam
bukan semata mengatur ritual ibadah, tetapi juga menata kehidupan sosial agar
terwujud keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), dan
kesejahteraan (sa’adah). Syariat ini datang untuk memperbaiki kondisi
manusia. Baik secara moral, spiritual, maupun sosial, sehingga kehidupan di
dunia menjadi harmonis dan kehidupan akhirat dapat diraih dengan selamat.
[1] Fiqh Sunnah Wanita, Abu Malik Kamal
bin As Sayyid Salim, Hal. 506-511, Griya Ilmu
[2] Musnad
Ahmad, Juz 32:518, No. 19741
[3]
Haram menampung darah hewan
sembelihan untuk dimakana. Lih. QS. Al An’am 145
[4] Tarikh Tasyri, Muhammad Al Khudhari,
Cet. 8:17, Daarul Fikr
[5]
Musnad Ishaq ibn Rahwaih, Juz 1:134, No. 60
0 Komentar