Jejak awal dalam perkembangan fikih mencakup era Kenabian Muhammad shallallahu
‘alayhi wasallam, di mana satu-satunya sumber hukum Islam adalah wahyu
Allah dalam bentuk Al Quran dan Sunnah. Al Quran merepresentasikan konsep (manhaj)
dasar cara hidup Islami, dan penerapan Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam terhadap konsep ini dalam kehidupan sehari-hari beliau (sunnah)
yang berfungsi sebagai penjelasan terperinci dari prinsip umum yang diuraikan
di dalam Qur’an, pun praktik-praktik pengamalannya.[1]
Metode Perumusan Hukum
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam sejak awal kenabian pada tahun 609 M hingga menjelang
wafat beliau pada tahun 632 M, yaitu selama kurang lebih 23 tahun. Setiap
bagian Al-Qur’an hadir sebagai jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabat, baik ketika
berada di Makkah maupun di Madinah. Beberapa ayat bahkan diturunkan secara
khusus sebagai jawaban langsung terhadap pertanyaan yang diajukan kaum Muslimin
maupun kaum non-Muslim pada masa itu, sehingga kita akan temukan beberapa ayat
yang berbunyi:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ
الْحَرَامِ قِتَالٍۢ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌۭ فِيهِ كَبِيرٌۭ ۚ وَصَدٌّۭ عَن سَبِيلِ
ٱللَّهِ وَكُفْرٌۢ بِهِۦ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِۦ مِنْهُ
أَكْبَرُ عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ ٱلْقَتْلِ ۗ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram.
Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi
(orang) dari jalan Allah, kafir kepada-Nya, (menghalangi masuk) Masjidilharam,
dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah.
Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan….” (QS. 2:217)
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ
وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌۭ كَبِيرٌۭ وَمَنَـٰفِعُ لِلنَّاسِ ۖ
وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ
قُلِ ٱلْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْـَٔايَـٰتِ لَعَلَّكُمْ
تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada
keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa
keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu tentang
apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.”
(QS.2:219
وَيَسْـَٔلُونَكَ
عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًۭى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ
ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah
suatu kotoran.” Maka jauhilah istri pada waktu haid, dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka
campurilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan
diri.” (QS. 2:222)
Sebagian lagi dirutunkan karena suatu insiden yang terjadi di zaman
Nabi. Misalnya kisah Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya berselingkuh
dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
يَا هِلالُ ، أَرْبَعَةَ شُهُودٍ
وَإِلا فَحَدٌّ فِي ظَهْرِكَ
“Wahai Hilal, bawakan 4 orang saksi, jika tidak kau akan dikenai hukum hadd[2]
di punggungmu” (HR. An Nasa-i)
Hilal bin Umayyah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam, “Ya Rasulullah! Jika seorang dari kami melihat istrinya berselingkuh,
apakah dia harus mencari saksi?”.
Lalu turunlah Jibril ‘alayhissalam menyampaikan ayat 6-9 surat An
Nur:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ
وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاۤءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ
اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu
ialah bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk
orang-orang yang benar.” (QS. 64:6)
وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللّٰهِ
عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ
“Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. 64:7)
وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ اَنْ
تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الْكٰذِبِيْنَ
“Istrinya itu dapat terhindar dari hukuman jika dia bersumpah empat kali
dengan nama Allah bahwa suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
berdusta.” (QS. 64:8)
وَالْخَامِسَةَ اَنَّ غَضَبَ اللّٰهِ عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ
الصّٰدِقِيْنَ
“Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. 64:9)
Baca di sini: Dinamika Fikih (Eps. 1)
Demikian penetapan hukum melalui Sunnah sering kali muncul dari jawaban
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam atas pertanyaan atau pernyataan yang
diajukan para sahabat tentang peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Contohnya,
ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam;
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَرْكَبُ
الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ، فَإِنْ
تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ بِهِ بماء البحر؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
““Wahai Rasulullah, kami bepergian di lautan dan membawa sedikit air.
Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu
dengan air laut?” Maka Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab: “Air laut itu suci dan mensucikan, dan bangkainya halal.”[3]
Penetapan hukum dalam Islam dilakukan secara bertahap agar lebih mudah
diterima oleh masyarakat Arab pada masa itu, yang sebelumnya terbiasa hidup
dengan kebebasan penuh. Pendekatan bertahap ini juga memudahkan mereka untuk
mempelajari dan memahami setiap hukum, karena konteks turunnya hukum tersebut
mereka ketahui secara langsung. Metode penetapan hukum secara bertahap ini
tidak hanya berlaku dalam hal-hal umum, tetapi juga pada perkara-perkara
khusus. Salah satu contoh terbaiknya adalah proses diwajibkannya shalat.
Pada periode Makkah kewajiban shalat hanya dua kali
sehari, di mana Rasulullah mengajarkan para sahabat shalat dua rakaat pada pagi
hari (subuh), dan dua rakaat pada malam hari (Isya)[4].
Sebagaimana di katakan oleh Imam Ibnu Rajab Al Hanbali di dalam tafsirnya
tentang surat Al ‘alaq 9-10.
إنَّه كان قد فُرض
عليه ركعتانِ في أولِ النَّهارِ وركعتان في آخرِه فقط
“Sungguh dahulu pada awalnya telah diwajibkan atas
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dua rakaat pada awal siang dan
dua rakaat pada akhirnya (malam) saja.”[5]
Kemudian sebelum hijrah ke Madinah barulah shalat
diwajibkan menjadi 5 kali sehari setelah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam menjalani peristiwa Isra’ Mi’raj. Namun, shalat pada masa ini
awalnya masing-masing hanya berjumlah dua rakaat, kecuali subuh yang tetap 3
rakaat, Setelah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam hijrah ke Madinah dan kaum
muslimin mulai terbiasa menunaikan shalat lima waktu, jumlah rakaat pada
sebagian shalat ditambah menjadi empat rakaat, sedangkan shalat Subuh tetap dua
rakaat, Maghrib tetap tiga rakaat, dan shalat bagi musafir (safar) tetap
seperti semula, yaitu dua rakaat selain Subuh dan Maghrib. Hal ini diterangkan oleh
Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فرضت الصلاة ركعتين،
ثم هاجر النبي صلى الله عليه وسلم ففرضت أربعاً، وتركت صلاة السفر على الأول
“Pada awalnya sholat itu dua rakaat, kemudian
setelah hijrahnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam (ke Madinah) maka
ditetapkan menjadi 4 rakaat, adapun sholat bagi yang safar kembali kepada (syari’at)
awal (2 rakaat).” (HR. Bukhari, 3935).
Pada fase awal perjalanan fikih ini kita sudah melihat bagaimana gambara
hukum-hukum Islam lahir seiring dengan perkembangan umat di masa kenabian. Di
mana setiap perintah dan larangan diturunkan dengan penuh hikmah, disesuaikan
dengan situasi, kebutuhan, dan kesiapan masyarakat Arab saat itu. Dari perintah
shalat yang diwajibkan secara bertahap hingga turunnya ayat-ayat hukum yang
menjawab berbagai peristiwa, semua menunjukkan bahwa syariat dibangun di atas
asas kelembutan, kebijaksanaan, dan kemaslahatan.
Jejak ini menandai terbentuknya fondasi hukum Islam yang bersumber
langsung dari wahyu Allah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam.
[1] Al Madkhal, hal. 50
[2] Hadd¸sanksi hukuman dalam Islam bagi pelaku zina, qadzf
(menuduh), sariqah (pencuri), syurbul khamr (pemabuk), hirabah
(begal), riddah (murtad dan memberontak).
[3] Al Muwaththa’, Juz 1:24, Hadits No.
53
[4] Fathul Bari Ibnu Rajab Al Hanbali, Juz
2:304
[5] Tafsir Ibnu Rajab, Juz 2:599
Komentar
Posting Komentar