Langsung ke konten utama

Dinamika Fikih: Jejak Perjalanan Hukum Fikih (Eps. 2)

Jejak Pertama: Pondasi (609-632 M)

Jejak awal dalam perkembangan fikih mencakup era Kenabian Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, di mana satu-satunya sumber hukum Islam adalah wahyu Allah dalam bentuk Al Quran dan Sunnah. Al Quran merepresentasikan konsep (manhaj) dasar cara hidup Islami, dan penerapan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam terhadap konsep ini dalam kehidupan sehari-hari beliau (sunnah) yang berfungsi sebagai penjelasan terperinci dari prinsip umum yang diuraikan di dalam Qur’an, pun praktik-praktik pengamalannya.[1]

Metode Perumusan Hukum

Al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sejak awal kenabian pada tahun 609 M hingga menjelang wafat beliau pada tahun 632 M, yaitu selama kurang lebih 23 tahun. Setiap bagian Al-Qur’an hadir sebagai jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabat, baik ketika berada di Makkah maupun di Madinah. Beberapa ayat bahkan diturunkan secara khusus sebagai jawaban langsung terhadap pertanyaan yang diajukan kaum Muslimin maupun kaum non-Muslim pada masa itu, sehingga kita akan temukan beberapa ayat yang berbunyi:

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍۢ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌۭ فِيهِ كَبِيرٌۭ ۚ وَصَدٌّۭ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفْرٌۢ بِهِۦ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِۦ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ ٱلْقَتْلِ ۗ

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, kafir kepada-Nya, (menghalangi masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan….” (QS. 2:217)

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌۭ كَبِيرٌۭ وَمَنَـٰفِعُ لِلنَّاسِ ۖ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلِ ٱلْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْـَٔايَـٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.” (QS.2:219


وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًۭى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka jauhilah istri pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. 2:222)

Sebagian lagi dirutunkan karena suatu insiden yang terjadi di zaman Nabi. Misalnya kisah Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya berselingkuh dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

يَا هِلالُ ، أَرْبَعَةَ شُهُودٍ وَإِلا فَحَدٌّ فِي ظَهْرِكَ

“Wahai Hilal, bawakan 4 orang saksi, jika tidak kau akan dikenai hukum hadd[2] di punggungmu” (HR. An Nasa-i)

Hilal bin Umayyah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Ya Rasulullah! Jika seorang dari kami melihat istrinya berselingkuh, apakah dia harus mencari saksi?”.

Lalu turunlah Jibril ‘alayhissalam menyampaikan ayat 6-9 surat An Nur:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاۤءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu ialah bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (QS. 64:6)

وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ

“Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. 64:7)

وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ اَنْ تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الْكٰذِبِيْنَ

“Istrinya itu dapat terhindar dari hukuman jika dia bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. 64:8)

وَالْخَامِسَةَ اَنَّ غَضَبَ اللّٰهِ عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

“Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. 64:9)

Baca di sini: Dinamika Fikih (Eps. 1)

Demikian penetapan hukum melalui Sunnah sering kali muncul dari jawaban Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam atas pertanyaan atau pernyataan yang diajukan para sahabat tentang peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Contohnya, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam;

يَا رَسُولَ اللَّهِ، ‌إِنَّا ‌نَرْكَبُ ‌الْبَحْرَ، ‌وَنَحْمِلُ ‌مَعَنَا ‌الْقَلِيلَ ‌مِنَ ‌الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ بِهِ بماء البحر؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

““Wahai Rasulullah, kami bepergian di lautan dan membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab: “Air laut itu suci dan mensucikan, dan bangkainya halal.”[3]

Penetapan hukum dalam Islam dilakukan secara bertahap agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Arab pada masa itu, yang sebelumnya terbiasa hidup dengan kebebasan penuh. Pendekatan bertahap ini juga memudahkan mereka untuk mempelajari dan memahami setiap hukum, karena konteks turunnya hukum tersebut mereka ketahui secara langsung. Metode penetapan hukum secara bertahap ini tidak hanya berlaku dalam hal-hal umum, tetapi juga pada perkara-perkara khusus. Salah satu contoh terbaiknya adalah proses diwajibkannya shalat.

Pada periode Makkah kewajiban shalat hanya dua kali sehari, di mana Rasulullah mengajarkan para sahabat shalat dua rakaat pada pagi hari (subuh), dan dua rakaat pada malam hari (Isya)[4]. Sebagaimana di katakan oleh Imam Ibnu Rajab Al Hanbali di dalam tafsirnya tentang surat Al ‘alaq 9-10.

‌إنَّه ‌كان ‌قد ‌فُرض ‌عليه ‌ركعتانِ ‌في ‌أولِ ‌النَّهارِ وركعتان في آخرِه فقط

“Sungguh dahulu pada awalnya telah diwajibkan atas Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dua rakaat pada awal siang dan dua rakaat pada akhirnya (malam) saja.”[5]

Kemudian sebelum hijrah ke Madinah barulah shalat diwajibkan menjadi 5 kali sehari setelah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjalani peristiwa Isra’ Mi’raj. Namun, shalat pada masa ini awalnya masing-masing hanya berjumlah dua rakaat, kecuali subuh yang tetap 3 rakaat, Setelah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam hijrah ke Madinah dan kaum muslimin mulai terbiasa menunaikan shalat lima waktu, jumlah rakaat pada sebagian shalat ditambah menjadi empat rakaat, sedangkan shalat Subuh tetap dua rakaat, Maghrib tetap tiga rakaat, dan shalat bagi musafir (safar) tetap seperti semula, yaitu dua rakaat selain Subuh dan Maghrib. Hal ini diterangkan oleh Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha:

‌فرضت ‌الصلاة ‌ركعتين، ‌ثم ‌هاجر النبي صلى الله عليه وسلم ففرضت أربعاً، وتركت صلاة السفر على الأول

“Pada awalnya sholat itu dua rakaat, kemudian setelah hijrahnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam (ke Madinah) maka ditetapkan menjadi 4 rakaat, adapun sholat bagi yang safar kembali kepada (syari’at) awal (2 rakaat).” (HR. Bukhari, 3935).

Pada fase awal perjalanan fikih ini kita sudah melihat bagaimana gambara hukum-hukum Islam lahir seiring dengan perkembangan umat di masa kenabian. Di mana setiap perintah dan larangan diturunkan dengan penuh hikmah, disesuaikan dengan situasi, kebutuhan, dan kesiapan masyarakat Arab saat itu. Dari perintah shalat yang diwajibkan secara bertahap hingga turunnya ayat-ayat hukum yang menjawab berbagai peristiwa, semua menunjukkan bahwa syariat dibangun di atas asas kelembutan, kebijaksanaan, dan kemaslahatan.

Jejak ini menandai terbentuknya fondasi hukum Islam yang bersumber langsung dari wahyu Allah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.



[1] Al Madkhal, hal. 50

[2] Hadd¸sanksi hukuman dalam Islam bagi pelaku zina, qadzf (menuduh), sariqah (pencuri), syurbul khamr (pemabuk), hirabah (begal), riddah (murtad dan memberontak).

[3] Al Muwaththa’, Juz 1:24, Hadits No. 53

[4] Fathul Bari Ibnu Rajab Al Hanbali, Juz 2:304

[5] Tafsir Ibnu Rajab, Juz 2:599

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Mantan Penyanyi Kafe Ini Sebar Syubhat Lagi, Umat Islam Harus Tahu!

Membantah Syubhat Riyadh Bajrey Hadahullah Riyadh Bajrey hadahullah seorang mantan penyanyi kafe, dan mantan peminum khamar serta perokok aktif hingga sekarang, lagi-lagi membuat perkatan yang menimbulkan polemik di tengah umat. Sebelumnya dia mengatakan rokok itu halal, sekarang dia Kembali berulah dengan mengatakan bahwa Khamr itu lebih baik daripada membuat kajian berbayar, dan demo itu perbuatan yang menabrak ushuluddin. Nah, sekarang mari kita bedah seputar rokok, khamar, kajian berbayar, kampanye, dan demo. Riyadh Bajrey tentang rokok: “Kami meyakini kehalalannya” Dalam salah satu klarifikasinya ketika videonya sedang viral karena terlihat merokok, Riyadh Bajrey secara gamblang dan meyakinkan menyatakan bahwa rokok itu halal. Pernyataan ini justru sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama rabbani kontemporer. Jangankan ulama-ulama yang menjadi rujukan dalam kaidah manhaj salaf, bahkan ulama yang menurut sebagian kelompok dianggap di luar manhaj salaf—yang merokok...