Langsung ke konten utama

Fikih, Akidah: Bahaya Mengaburkan Batas Keduanya

Dalam pengajian, seringkali Kami mengingatkan jamaah bahwa perbedaan pendapat dalam fikih adalah hal yang wajar. Fikih dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat zhanni (tentatif) dan memberi ruang untuk ijtihad. Karena itu, kita perlu menghindari sikap saling bersikeras atau merasa paling benar. Imam Syafi‘i pernah berkata: 

رأيي صواب يحتمل الخطأ، ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

"Pendapatku benar tapi bisa jadi salah, dan pendapat orang lain salah tapi bisa jadi benar." (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Ibn Hazm)

Terkadang, kita malah menganggap pendapat orang lain sebagai bid‘ah, sesat atau tidak sesuai sunnah, seperti yang sering terjadi di kalangan sebagian kelompok Muslim. Padahal para ulama seperti Ibn Qudamah rahimahullah menyatakan:

مسائل الاجتهاد لا إنكار فيها

"Perkara-perkara ijtihad tidak boleh saling diingkari (secara mutlak)." (Rawḍat An Naaẓir)

Contohnya, soal posisi tangan saat sedekap dalam shalat. Di Indonesia, banyak yang meletakkan tangan di atas perut atau dada. Namun, di mazhab Hanafi yang dianut di Turki, China, Pakistan, dan Asia Tengah, atau sebagian Hanabilah posisi tangan saat berdiri dalam shalat justru diletakkan di bawah pusar.

Mazhab Syafi‘i memakai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة وضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره

Nabi shallallahu 'alayhi wasallam apabila berdiri untuk shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya." (HR. Abu Dawud, Hadits Hasan)

Sedangkan mazhab Hanafi dan Hanabilah berdasarkan hadits:

أن النبي صلى الله عليه وسلم وضع يده اليمنى على اليسرى تحت السرة في الصلاة

"Bahwa Nabi meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di bawah pusarnya dalam salat." (HR. Abu Dawud, Musnad Imam Ahmad)

Meskipun Kami pribadi lebih nyaman dengan salah satu cara, Kami juga kadang sesekali mengikuti cara yang lain. Kenapa? Karena masing-masing cara tersebut sama-sama memiliki dasar yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam, ada dalil yang meriwayatkan terlepas ulama berbeda pendapat terhadap derajat riwayat tersebut. Namun, siapa kita dibanding mereka yang sudah berada di level mujtahdi, shahih dan dha'if-nya suatu riwayat juga produk ijtihad. (baca ucapan Imam Ibnu Qudamah di atas)

Di sinilah pentingnya kita banyak belajar dan membuka maha karya para ulama mu'tabar sehingga kita tidak minim literasi yang hasilnya ada kejumudan. Hal ini bisa kita lihat di tengah masyarakat muslim ketika kita terlalu lama berada di satu lingkungan tanpa mau berinteraksi dengan pandangan yang berbeda, akhirnya terjebak dalam pemikiran bahwa cara kita yang paling benar lalu dengan mudahnya mengatakan orang lain tidak sesuai sunnah. Padahal, kebenaran dalam Islam tidak hanya ada di satu kelompok saja. Ada yang lebih mendekati kebenaran, ada yang menyimpang, tetapi tidak ada yang benar-benar sempurna.

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memilih pendapat sahabat dibandingkan hadits shahih yang tidak diamalkan secara umum, beliau rahimahullah menjawab: 

نعم، يترك الحديث إذا لم يكن من حديث يُعمل به

"Ya hadits itu ditinggalkan apabila tidak termasuk hadits yang diamalkan" (Jami' Bayan Al 'Ilm wa fadhlihi, Ibn Abdil Barr)

Bagian ucapan Imam Malik rahimahullah ini mungkin akan kami masukkan dalam tulisan berikutnya kenapa bisa demikian. Namun fokus kami saat ini ingin menyampaikan kepada kaum muslimin jangan sampai perkara yang masuk ranah fikih ditarik ke ranah akidah, sehingga ujungnya saling mudah mengeluarkan saudara sesama muslimnya dari pakem agama.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami batasan antara fikih dan akidah. Fikih berkaitan dengan masalah praktis dalam ibadah yang dapat berbeda-beda menurut madzhab, sedangkan akidah berkaitan dengan keyakinan yang mendasar dalam Islam. Jika perbedaan fikih sampai dipahami sebagai perbedaan akidah, maka kita bisa jatuh dalam kekeliruan yang berbahaya, seperti mengkafirkan atau menganggap orang lain sebagai musyrik.

Konsekuensi dari menganggap seseorang kafir sangatlah berat. Misalnya, orang yang dianggap kafir tidak boleh menikah dengan seorang Muslim, tidak sah menjadi imam shalat, sembelihannya haram dikonsumsi, tidak memiliki hak waris, dan jika meninggal, ia tidak bisa dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin (menurut mazhab Syafi‘i). Nabi shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: 

من قال لأخيه: يا كافر، فقد باء بها أحدهما

"Barang siapa yang berkata kepada saudaranya; "Wahai kafir!", Maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari mereka" (HR. Bukhari & Muslim)

Ini adalah salah satu alasan mengapa kita perlu berhati-hati dalam menyikapi perbedaan pendapat, khususnya dalam hal fikih. Jadi, mari kita buka wawasan kita, hargai perbedaan, dan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran dengan menjaga semangat Ukhuwah Islamiyah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...