Langsung ke konten utama

Berserah Bukan Berputus Asa

Iman kepada takdir adalah salah satu rahasia kebahagiaan

Iman kepada takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman yang tidak sah iman seorang hamba tanpa meyakininya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril 'alayhis salam yang terkenal, ketika beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam tentang iman, maka Beliau shallallahu 'alayhi wasallam menjawab:

أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره

'Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.' (HR. Muslim).

Iman kepada takdir adalah keyakinan yang teguh bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah atas takdir Allah dan berdasarkan ilmu-Nya yang telah terdahulu, dan segala sesuatu terjadi atas kehendak, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya, baik sesuatu itu dicintai dan diridhai oleh hamba, maupun sesuatu yang tidak disukainya dan terasa berat baginya.

Pengaruh Iman kepada Takdir dalam Mewujudkan Kebahagiaan

Sesungguhnya iman kepada takdir adalah salah satu kunci menuju kebahagiaan dan keridhaan, karena seorang mukmin, ketika meyakini bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu dengan hikmah dan keadilan, maka ia pun bertawakal kepada-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya, sehingga hilanglah kegelisahan dan kecemasan. Hatinya pun dipenuhi dengan ketenangan.

Seorang yang beriman kepada takdir mengetahui bahwa segala sesuatu yang menimpanya adalah berdasarkan ketetapan Allah, dan bahwa Allah tidak menetapkan sesuatu kecuali kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Allah Ta‘ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

'Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.' (Al Hadid:22)

Ayat ini menenangkan hati orang beriman bahwa segala sesuatu yang telah terjadi tertulis dalam kitab di sisi Allah, dan tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu dan kehendak-Nya. Hal ini mendorong seseorang untuk ridha terhadap takdir, tidak berlarut-larut dalam kesedihan atas apa yang telah luput, dan tidak takut secara berlebihan terhadap apa yang akan datang.

Iman kepada takdir menghilangkan kecemasan terhadap masa depan

Salah satu sumber terbesar dari kesengsaraan manusia adalah rasa takutnya terhadap masa depan dan pikirannya yang terus-menerus dipenuhi oleh hal-hal yang belum diketahui. Namun, iman kepada takdir membuat seorang mukmin bergantung kepada Allah, dan meyakini bahwa apa yang telah ditetapkan untuknya pasti akan terjadi, serta bahwa Allah mengatur segala urusan dengan hikmah-Nya.

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل، فإن (لو) تفتح عمل الشيطان

"Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah. Jika sesuatu menimpamu, maka jangan katakan: 'Seandainya aku melakukan ini dan itu, tentu akan begini dan begitu,' tetapi katakanlah: 'Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.' Karena kata 'seandainya' membuka pintu godaan setan." (HR. Muslim)

Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin berusaha dengan sungguh-sungguh melalui sebab-sebab yang diperbolehkan, namun ia tidak menyesali apa yang telah berlalu, dan tidak pula takut secara berlebihan terhadap sesuatu yang belum terjadi. Sebab, segala sesuatu berada di bawah takdir dan hikmah Allah.

Iman kepada takdir memperkuat rasa ridha saat menghadapi musibah

Musibah adalah bagian dari kehidupan manusia, namun seorang mukmin melihatnya dengan sudut pandangan yang berbeda dibandingkan dengan orang lain. Ia menyadari bahwa ujian itu datang dari Allah, dan itu adalah moment kesempatan untuk membersihkan dosa-dosa dan meningkatkan derajatnya. Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

عجبًا لأمر المؤمن، إن أمره كله له خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن: إن أصابته سراء شكر فكان خيرًا له، وإن أصابته ضراء صبر 

فكان خيرًا له

"Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Seluruh urusannya adalah kebaikan baginya, dan itu tidak dimiliki oleh siapa pun selain orang beriman: Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya; dan jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu pun menjadi kebaikan baginya."

Dengan pemahaman yang mendalam ini, seorang mukmin hidup dengan bahagia dan tenang, karena ia tahu bahwa apa pun yang menimpanya adalah kebaikan baginya, bahkan jika itu adalah rasa sakit.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:

لو كُشف الغطاء ما ازددت يقينًا

"Seandainya tirai (pengetahuan ghaib) dibuka, aku tidak akan bertambah yakin."

Hal ini menunjukkan keyakinannya yang sempurna bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah.

Imam Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:

علمت أن رزقي لن يأخذه غيري، فاطمأن قلبي

"Aku tahu bahwa rizkiku tidak akan diambil oleh orang lain, maka hatiku pun merasa tenang."

 

Pernyataan ini menunjukkan bahwa seorang mukmin meyakini bahwa rizki dan takdirnya ada di tangan Allah semata, sehingga ia tidak berlomba-lomba mengejar dunia dan tidak khawatir tentang rezeki.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

الإيمان بالقدر يُثمر في القلب الرضا بالله ربًّا، ويُطفئ نار التسخّط، ويُزيل غبار الشك والاعتراض

"Keimanan kepada takdir menghasilkan rasa ridha kepada Allah sebagai Rabb, memadamkan api ketidakpuasan, dan menghilangkan debu keraguan serta protes."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...