Tafsir Bukan Ruang Opini: Ikuti Para Salaf!

Di beberapa platform media sosial yang menyajikan ruang-ruang diskusi agama, banyak sekali pengguna dari kalangan kaum muslimin ketika berbicara tentang Al-Qur'an berangkat dari asumsi pribadinya. Ketika sesuai dengan asumsinya, maka dengan beraninya dia berbicara tentang satu dua ayat Al-Qur'an. Hal seperti ini, bila ditinjau dari dalil-dalil naqli, tentu harus hati-hati, karena bila pendapat kita tentang Al-Qur'an itu tidak sesuai dengan tujuan ayat tersebut, maka hasilnya bisa menyesatkan orang lain dan mendatangkan mudarat bagi dirinya pribadi.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan asumsinya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi).

Hadits ini adalah wa’id (peringatan) bagi kita semua. Beliau shallallahu ‘alayhi wasallam bukan sedang membatasi nalar kita, namun sedang mengajak kita untuk berpikir sebelum berucap. Apakah kita punya kapasitas dalam memahami maksud dari ayat tersebut? Apakah kita sudah memiliki/menguasai cabang-cabang ilmu di dalam Islam sehingga bisa kita pertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun ukhrawiyah? Jadi, hadits ini mengajak kita untuk memiliki sikap ihtiyath (kehati-hatian)—bahasa halusnya, dan tahu diri—bahasa kasarnya.

Para salaful ummah, mereka yang hidup sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, dan sezaman dengan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, berpesan kepada sesama mereka dan tentunya pesan itu sampai kepada kita juga sebagai bentuk peringatan bagi kita.

Imam Masruq bin Al Ajda’ rahimahullah, murid senior dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata:

اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله

“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al-Qur’an), karena tafsir adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1:16. Disebutkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)

Imam Asy Sya’bi rahimahullah yang juga salah satu murid dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

من أخطأ في تفسير آية من كتاب الله فقد افترى على الله

"Barang siapa keliru dalam menafsirkan satu ayat dari Kitabullah, sungguh ia telah berdusta atas nama Allah." (Al Itqan, Imam As Suyuthi)

والله ما من آية إلا وقد سألت عنها، ولكنها الرواية عن الله عز وجل

“Demi Allah, tidaklah satu pun (ayat) melainkan telah kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Riwayat Ibnu Jarir, sanadnya shahih).

Lalu Imam Ibrahim An Nakha’i rahimahullah, murid langsung dari tiga sosok di atas, juga berkata hal yang serupa ketika berbicara tentang tafsir Al-Qur'an:

كان أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه

“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Riwayat Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya shahih).



Kami (penulis) sengaja memuat semua tokoh di atas karena mereka adalah sosok-sosok yang memiliki derajat tsiqah dan dhabit, apalagi Imam Asy Sya’bi yang terkenal kuat hafalannya. Mereka tidak ada yang berani berbicara tentang Al-Qur'an berangkat dari asumsi pribadinya, dan hanya mengambil pendapat generasi-generasi terbaik di atas mereka.

Maka penting bagi kaum muslimin untuk lebih mawas diri, tahu diri bila sudah bertemu dengan Al-Qur'an, dan berhati-hatilah dalam berbicara tanpa dasar ilmu. Sebagai contoh, bila penjelasan suatu ayat dari Al-Qur'an diberi keterangan "Ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu", maka ikutilah penjelasan tersebut. Kenapa? Karena Rasulullah shollallahu 'alayhi wasallam sudah memberikan gelar kepada beliau sebagai Turjuman Al-Qur'an (penerjemah Al-Qur'an).

Dan terakhir, ini perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita semua:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43 dan QS. Al-Anbiya: 7)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk memiliki sikap tawadhu’ dan berbicara tanpa ilmu. Wallahu a’lam

Posting Komentar

0 Komentar