Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
مَنْ
قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan asumsinya
(semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini adalah wa’id (peringatan) bagi
kita semua. Beliau shallallahu ‘alayhi wasallam bukan sedang membatasi nalar
kita, namun sedang mengajak kita untuk berpikir sebelum berucap. Apakah kita
punya kapasitas dalam memahami maksud dari ayat tersebut? Apakah kita sudah memiliki/menguasai
cabang-cabang ilmu di dalam Islam sehingga bisa kita pertanggungjawabkan baik
secara ilmiah maupun ukhrawiyah? Jadi, hadits ini mengajak kita untuk memiliki
sikap ihtiyath (kehati-hatian)—bahasa halusnya, dan tahu
diri—bahasa kasarnya.
Para salaful ummah, mereka yang hidup sezaman dengan Nabi
shallallahu ‘alayhi wasallam, dan sezaman dengan para sahabat radhiyallahu
‘anhum, berpesan kepada sesama mereka dan tentunya pesan itu sampai kepada kita
juga sebagai bentuk peringatan bagi kita.
Imam Masruq bin Al Ajda’ rahimahullah, murid senior dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, berkata:
اتقوا
التفسير، فإنما هو الرواية عن الله
“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al-Qur’an), karena tafsir
adalah riwayat dari Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1:16. Disebutkan oleh
Abu ‘Ubaid dalam Al Fadhoil dengan sanad yang shahih)
Imam Asy Sya’bi rahimahullah yang juga salah satu murid dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
من
أخطأ في تفسير آية من كتاب الله فقد افترى على الله
"Barang siapa keliru dalam menafsirkan satu ayat dari
Kitabullah, sungguh ia telah berdusta atas nama Allah." (Al Itqan,
Imam As Suyuthi)
“Demi Allah, tidaklah satu pun (ayat) melainkan telah
kutanyakan, namun (berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat Al Qur’an), karena
ayat tersebut adalah riwayat dari Allah.” (Riwayat Ibnu Jarir, sanadnya
shahih).
Lalu Imam Ibrahim An Nakha’i rahimahullah, murid langsung
dari tiga sosok di atas, juga berkata hal yang serupa ketika berbicara tentang
tafsir Al-Qur'an:
كان
أصحابنا يتقون التفسير ويهابونه
“Para sahabat kami begitu takut ketika menafsirkan suatu
ayat, kami ditakut-takuti ketika menafsirkan.” (Riwayat Abu ‘Ubaid dalam Al
Fadhoil, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman,
sanadnya shahih).
Kami (penulis) sengaja memuat semua tokoh di atas karena
mereka adalah sosok-sosok yang memiliki derajat tsiqah dan dhabit,
apalagi Imam Asy Sya’bi yang terkenal kuat hafalannya. Mereka tidak ada yang
berani berbicara tentang Al-Qur'an berangkat dari asumsi pribadinya, dan hanya
mengambil pendapat generasi-generasi terbaik di atas mereka.
Maka penting bagi kaum muslimin untuk lebih mawas diri, tahu
diri bila sudah bertemu dengan Al-Qur'an, dan berhati-hatilah dalam berbicara
tanpa dasar ilmu. Sebagai contoh, bila penjelasan suatu ayat dari Al-Qur'an
diberi keterangan "Ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu", maka
ikutilah penjelasan tersebut. Kenapa? Karena Rasulullah shollallahu 'alayhi
wasallam sudah memberikan gelar kepada beliau sebagai Turjuman
Al-Qur'an (penerjemah Al-Qur'an).
Dan terakhir, ini perintah Allah subhanahu wa
ta’ala kepada kita semua:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43 dan QS. Al-Anbiya: 7)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk memiliki sikap tawadhu’ dan berbicara tanpa ilmu. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar