Langsung ke konten utama

Dinamika Fikih: Jejak Perjalanan Hukum Fikih (Eps. 1)

Demi pemahaman yang lebih tepat mengenai perkembangan Sejarah hukum Islam, kita perlu mengkaji terlebih dahulu definisi istilah fikih dan syari’ah (hukum Islam). Fikih secara lughowiy (etimologi) bermakna pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan. Contoh penggunan kata ini bisa kita temukan dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Dia menjadikan faqih dalam perkara agama”. (HR. Bukhari & Muslim)

Akan tetapi secara isthilahiy (istilah/tekhnis), fikih ini berarti suatu ilmu untuk menyimpulkan hukum-hukum Islam dari dalil-dalil yang ditemukan di dalam sumber-sumber hukum Islam.

Adapun syari’ah secara etimologi bermakna menjelaskan, menerangkan, jalan yang jelas menuju sumber air, atau jalan yang lurus. Sebagaimana Allah sebutkan di dalam surat Al Jatsiyah (45) ayat 18:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.”

Ada pun syari’ah secara isthilahiy yaitu hukum-hukum yang telah diwahyukan kepada Rasulullah shallalahu ‘alayhi wasallam yang tersimpan di dalam Al Quran dan apa yang disimpulkan oleh Beliau shallallahu ‘alayhi wasallam, yang kita kenal istilahnya dengan Assunnah.[1]

Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan tiga perbedaan berikut:

1. Syari’ah adalah kumpulan hukum yang diwahyukan dan yang ditemukan di dalam Al Quran dan Assunnah. Sedangkan Fikih adalah kumpulan hukum yang disimpulkan dari syari’ah, untuk membahas situasi spesifik yang tidak memiliki aturan langsung dalam hukum syari’ah.

2. Syariah adalah hukum yang tidak tergantikan, sementara fikih bisa mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kondisi di mana hukum tersebut diterapkan.

3. Hukum-hukum syariat bersifat umum. Meletakkan prinsip-prinsip dasar Islam (ushul). Berbeda dengan fikih yang lebih spesifik, menunjukkan bagaimana prinsip umum syariah harus diterapkan dalam suatu masalah.

Memahami dinamika fikih berarti menelusuri jejak panjang perjalanan hukum Islam yang senantiasa berinteraksi dengan zaman dan kebutuhan umat. Syari’ah sebagai wahyu Ilahi bersifat tetap dan tidak berubah, sedangkan fikih sebagai hasil ijtihad ulama memiliki ruang gerak yang fleksibel untuk menjawab tantangan kehidupan. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memahami perbedaan antara syari’ah dan fikih agar tidak rancu dalam menyikapi hukum Islam.

Dengan pemahaman ini, kita semakin menyadari bahwa fikih bukanlah sekadar kumpulan hukum kaku, melainkan wujud nyata dari upaya para ulama dalam menerjemahkan nilai-nilai syari’ah ke dalam praktik kehidupan. Sehingga, perjalanan fikih merupakan bukti betapa Islam adalah agama yang syumul (menyeluruh), relevan sepanjang masa, dan senantiasa memberikan solusi bagi setiap persoalan manusia.

Maka dari itu agar jiwa kita semakin lapang melihat realitas perbedaan pandangan yang ada kita perlu tahu Sejarah perkembangan ilmu fikih yang memiliki enam fase, yaitu; pondasi, pembentukan, pembangunan, perkembangan, konsolidasi, stagnasi dan kemunduran. Tahapan tersebut berlangsung pada periode sejarah berikut ini:

a. Pondasi: Era Kenabian (609-632 M)

b. Pembentukan: Era Khulafa-ur Rasyidin, dihitung sejak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam hingga tahun 661 M (pertengahan abad ke-7).

c. Pembangunan: Sejak terbentuknya Dinasti Umawiyah hingga runtuhnya di pertengahan abad ke-8.

d. Perkembangan: Sejak kebangkitan Dinasti Abbasiyah pertengahan Abad ke-8  hingga awal keruntuhan mereka abad ke-10

e. Penggabungan: Sejak keruntuhan Abbasiyah sekitar tahun 960 M, hingga terbunuhnya khalifah terakhir di tangan tentara Mongol pada pertengahan abad ke-13.

f. Stagnasi-Kemunduran : Sejak penaklukan Baghdad di tahun 1258 hingga hari ini.

In syaa Allah tahapan-tahapan di atas akan coba kami jelaskan sesuai dengan kondisi sosial dan politik pada masa tersebut. Dengan mengikut tulisan ini pembaca akan memperoleh wawasan tentang dinamika madzhab-madzhab serta kontribusinya terhadap fiqh. Diharapkan kita semua dapat menghargai fakta bahwa madzhab telah memberikan kontribusi dalam kadar yang berbeda-beda terhadap perkembangan fiqh, sehingga kita tidak boleh berkeyakinan bahwa hanya satu madzhab saja yang murni mewakili Islam. Dengan kata lain fiqh tidak ditentukan oleh satu madzhab saja.

Madzhab hanyalah salah satu instrument penting dalam penjelasan dan penerapan syari’ah. Fiqh dan syar’ah diharapkan menjadi pemersatu kaum Muslimin di seluruh dunia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kesatuan in bisa terjadi bila masing-masing “penganut” madzhab tertentu memiliki kematangan dan kedewasaan iman. Sehingga dia mampu toleran dan tidak ta’ashub pada pendapat ulamanya saja, karena ta’ashub itu bukan hanya bisa merusak persatuan umat, namun yang lebih dahsyar dari itu adalah menjauhnya syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dari mereka. Wal ‘iyaadzubillah.



[1] M. Syalabi, Al Madkhal Fii Atta’rif bil fikihi Islami, (Beirut, Darun Nahdhah Al Arabiyah,1969)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Mantan Penyanyi Kafe Ini Sebar Syubhat Lagi, Umat Islam Harus Tahu!

Membantah Syubhat Riyadh Bajrey Hadahullah Riyadh Bajrey hadahullah seorang mantan penyanyi kafe, dan mantan peminum khamar serta perokok aktif hingga sekarang, lagi-lagi membuat perkatan yang menimbulkan polemik di tengah umat. Sebelumnya dia mengatakan rokok itu halal, sekarang dia Kembali berulah dengan mengatakan bahwa Khamr itu lebih baik daripada membuat kajian berbayar, dan demo itu perbuatan yang menabrak ushuluddin. Nah, sekarang mari kita bedah seputar rokok, khamar, kajian berbayar, kampanye, dan demo. Riyadh Bajrey tentang rokok: “Kami meyakini kehalalannya” Dalam salah satu klarifikasinya ketika videonya sedang viral karena terlihat merokok, Riyadh Bajrey secara gamblang dan meyakinkan menyatakan bahwa rokok itu halal. Pernyataan ini justru sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama rabbani kontemporer. Jangankan ulama-ulama yang menjadi rujukan dalam kaidah manhaj salaf, bahkan ulama yang menurut sebagian kelompok dianggap di luar manhaj salaf—yang merokok...