Ikatan pernikahan tidak sekadar menyatukan dua hati, melainkan juga membangun pondasi komitmen yang harus dijaga. Pembahasan seputar pernikahan selalu menjadi pembahasan menarik, terlebih bila dikaitkan dengan isu pencarian, kesetiaan maupun perceraian.
Penulis kali ini ingin membahas
soal perceraian. Perceraian tidak selalu disebabkan oleh kematian salah satu
pasangan (cerai mati). Ada pula perceraian yang muncul dari pilihan hidup
pasangan itu sendiri, yang dikenal sebagai cerai hidup.
Cerai hidup bisa terjadi karena
banyak faktor, namun faktor utama yang paling sering mendominasi adalah
runtuhnya kesetiaan. Dalam ajaran Islam, seorang suami diwajibkan untuk
senantiasa menjaga loyalitas dan cintanya terhadap pasangan.
اِنَّ لِلزَّوْجِ مِنَ الْمَرْأَةِ
لَشُعْبَةَ مَا هِيَ لِشَيْئٍ (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Sesungguhnya
suami mendapatkan dari istrinya suatu cinta kasih yang begitu besar, yang tidak
ia dapatkan dari hal lain.” (HR. Ibnu Majah, Al-Jami’us Shaghir, no. 2380).
Hadis ini menunjukkan betapa
besarnya nikmat seorang suami yang memiliki istri penuh kasih sayang. Betapa
tidak bersyukurnya seorang suami bila mengabaikan anugerah itu. Namun, hadis
ini tidak hanya berlaku untuk suami, tetapi juga untuk istri. Karena seharusnya,
seorang istri pun harus menyadari bahwa suaminya telah menghadirkan cinta yang
begitu besar. Akan menjadi kerugian besar jika rasa cinta yang tulus itu
sia-sia hanya karena rapuhnya kesetiaan.
Runtuhnya kesetiaan sering
berawal dari hadirnya orang ketiga yang membuat cinta pasangan tidak lagi utuh.
Banyak kasus perselingkuhan bermula dari munculnya pihak luar (umumnya
perempuan) yang mampu meruntuhkan cinta seorang suami kepada istrinya.
Namun, membicarakan soal
kesetiaan tidak bisa serta merta menuding satu pihak saja. Hubungan terlarang
tetap melibatkan dua orang. Artinya, hilangnya kesetiaan merupakan tanda
gagalnya kedua belah pihak menjaga komitmen rumah tangga. Adapun pihak ketiga yang
masuk tanpa hak jelas berada pada posisi salah yang paling besar. Walau
demikian, pasangan yang membiarkan dirinya goyah tetap punya andil dalam
kegagalan tersebut.
Jika berbicara fakta bahwa
mayoritas pihak ketiga adalah perempuan, maka hadis berikut bisa dijadikan
renungan:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِلنِّسَاءِ
(رواه الحكيم عن ابن عباس)
Artinya: “Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik sikapnya kepada kaum perempuan.” (HR. Hakim dari
Ibnu Abbas, Al-Jami’us Shaghir, no. 4101).
Hadis ini menegaskan betapa Islam
mengangkat kedudukan perempuan dan menganjurkan agar mereka diperlakukan dengan
penuh kebaikan. Namun, amat disayangkan bila kebaikan itu justru membuat
sebagian perempuan terlena hingga melahirkan penyakit hati berupa ambisi untuk
memiliki apa yang bukan haknya
Sebagai contoh, seorang perempuan
yang dikaruniai kecantikan, pesona, dan pujian dari banyak orang seharusnya
menjadikannya semakin memiliki ‘izzah dan iffah sehingga
menjadikan dirinya memiliki pribadi yang rendah hati. Ia perlu merenungi bahwa
kesempurnaan hari ini bisa sirna esok hari. Keistimewaan adalah titipan Allah,
bukan alasan untuk merasa lebih tinggi atau berambisi memiliki sesuatu yang
mudah didapat tapi tidak halal.
Pada akhirnya, renungan berikut
layak menjadi cermin diri: ketika seorang perempuan tumbuh menjadi bunga yang
mekar, jadikanlah keelokan itu sebagai kebaikan, bukan sumber godaan. Berilah
batas agar kekaguman yang datang dari orang lain tidak berubah menjadi fitnah
yang menjerumuskan. Sebab, rasa kagum dari orang lain adalah ujian: apakah akan
dijaga sebagai motivasi menuju teladan yang baik, atau justru menjadi jerat
yang menimbulkan dosa karena hadir pada waktu dan orang yang salah.
Maka, pilihlah jalan yang
mendatangkan kebaikan bagi banyak orang, bukan jalan yang menukar manfaat
menjadi mudarat.
Komentar
Posting Komentar