Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman di dalam surat Al Qashash: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).
Untuk meraih kebahagiaan di
akhirat tentunya kita isi dengan beribadah kepada Allah, ibadah-ibadah
yang sifatnya tauqifiyah atau ibadah madhdhoh. Adapun untuk
kebahagian dunia kita diperintahkan oleh Allah untuk bekerja.
Namun, masih banyak orang
beranggapan bahwa bekerja hanyalah aktivitas duniawi, sekadar usaha mencari
nafkah, karier, atau kekayaan. Bahkan tak jarang, sebagian merasa rendah atau
malu ketika hanya disebut sebagai "pekerja biasa" yang sibuk dengan
urusan dunia.
Padahal dalam pandangan Islam,
bekerja bukan hanya aktivitas duniawi semata, tetapi bisa menjadi ibadah yang
besar nilainya di sisi Allah, selama dilakukan dengan cara yang halal dan niat
yang benar.
1. Bekerja Adalah Bagian dari Ibadah
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Segala amal yang halal, diniatkan karena Allah dan untuk kebaikan, bisa bernilai ibadah. Termasuk di dalamnya adalah bekerja.
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًۭا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ
"Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali (setelah mati)." (QS. Al-Mulk: 15)
Dari ayat di atas begitu jelas menunjukkan perintah Allah untuk berusaha mencari rezeki di muka bumi dengan cara yang halal. Bahkan dalam hadis shahih, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
"Tidaklah seseorang memakan
makanan yang lebih baik daripada hasil dari pekerjaan tangannya sendiri."
(HR. Bukhari, no. 2072)
Sehingga Nabi Daud 'alayhissalam yang
seorang Nabi dan Raja pun hidup dari hasil kerja tangannya sendiri sebagai
pandai besi, salah satunya. Allah terangkan di dalam surat Saba: 10-11:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا
فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ وَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ
Artinya:“Dan sungguh, telah Kami
berikan kepada Daud karunia dari Kami.(Kami berfirman),‘Wahai gunung-gunung dan
burung-burung! Bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud,’ dan Kami telah
melunakkan besi untuknya.”
2. Kejujuran dan Amanah dalam
Bekerja
Dalam Islam, bekerja bukan
sekadar mencari nafkah, tetapi juga harus dilakukan dengan kejujuran
dan amanah. Setiap usaha yang halal akan bernilai ibadah jika dijalankan
dengan integritas, tanpa menipu, merugikan orang lain, atau menyalahi syariat.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَأَوْفُواْ ٱلْكَيْلَ وَٱلْمِيزَانَ
بِٱلْقِسْطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (QS. Al-An‘ām: 152)
Selain itu, Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam menegaskan:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ
أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai
apabila salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, hendaknya ia
menyempurnakannya.” (HR. al-Baihaqi)
Ibarah yang bisa diambil: “Bekerja
dengan jujur adalah menegakkan ibadah, menepati amanah adalah menegakkan
akhlak”.
3. Bekerja sebagai Sarana
Berbagi dan Menolong Sesama
Selain untuk kebutuhan pribadi
dan keluarga, bekerja juga memiliki dimensi sosial: memberikan manfaat bagi
orang lain dan masyarakat. Rezeki yang halal yang diperoleh dengan bekerja
bisa menjadi sarana untuk berinfak, menolong yang membutuhkan, dan menegakkan
keadilan sosial.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
وَمَآ أَنْفَقْتُم مِّن شَيْءٍ
فَهُوَ يُخْلِفُهُۥ وَهُوَ خَيْرُ ٱلرَّازِقِينَ
“Apa saja yang kalian infakkan,
Allah akan menggantinya, dan Dia-lah sebaik-baik Pemberi rezeki.” (QS. Saba’:
39)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ
فِيهِ إِلَّا يَنْزِلُ عَلَى أَحَدِهِمُ الْفَقْرُ وَالْغِنَى وَاللَّذَّةُ
وَالْمَذَلَّةُ، فَمَنْ فَطَرَ لِأَهْلِهِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ
“Tidak ada seorang pun yang
bangun pada pagi hari kecuali rezeki, kefakiran, kesenangan, dan kehinaan telah
turun kepadanya; barangsiapa yang membagi rezekinya untuk keluarganya, maka itu
lebih utama.” (HR. Ahmad)
Ibarah yang bisa diambil: “Bekerja bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga menebar manfaat dan keberkahan bagi sesama”.
Refleksi
Tulisan ini menegaskan bahwa mengejar akhirat tidak boleh
membuat seorang muslim melupakan dunia. Allah menegaskan agar kita tetap menyeimbangkan
dunia dan akhirat. Dunia adalah ladang amal yang bisa bernilai ibadah jika
dijalankan dengan halal, jujur, dan bermanfaat bagi sesama.
Mengejar akhirat tanpa memperhatikan dunia berarti mengabaikan
perintah Allah, sementara tenggelam sepenuhnya dalam dunia pun tidak
dibenarkan. Seorang muslim harus mampu menjaga keseimbangan: bekerja untuk
memenuhi kebutuhan, menegakkan amanah, menolong sesama, dan tetap fokus pada
tujuan akhirat.
Ibarah yang bisa diambil: “Seimbang dalam dunia, teguh dalam akhirat.” Dengan prinsip ini, setiap pekerjaan, usaha, dan aktivitas sehari-hari bukan sekadar rutinitas, tetapi menjadi sarana ibadah dan jalan meraih ridha Allah. Dunia dan akhirat berjalan beriringan, saling memperkuat, dan menjadikan hidup bermakna.
Komentar
Posting Komentar