Begini guys…
Hijrah itu perjalanan, bukan panggung buat nunjuk siapa yang paling suci, paling syar’i, atau paling “selamat”.
You udah ninggalin musik — Alhamdulillah, itu keren banget. Tapi pas You mulai ngerasa lebih baik dari yang masih dengerin musik, mulai ngecap mereka belum dapat hidayah… coba tarik nafas dulu.
Kata Ibnul Qayyim rahimahullah:
مَنْ نَظَرَ فِي عُيُوبِ النَّاسِ فَأَنْكَرَهَا ثُمَّ رَضِيَ عَنْ نَفْسِهِ فَهَذَا أَحْمَقُ
“Siapa yang ngelihat aib orang lain lalu merasa jijik, tapi dia ridha dengan dirinya sendiri, maka dia orang bodoh.” (Ighatsah Al Lahfan)
Percayalah… You masih jahil. You baru hijrah di level cover. Baru ganti packaging, belum tentu isinya udah bersih.
You juga udah stop posting foto bareng istri. Respect. Tapi saat You mulai nge-judge yang masih upload istri mereka sebagai “dayyuts”, dan ngerasa lebih ‘lurus’, coba pause dulu.
Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
مَن قالَ: هَلَكَ النَّاسُ، فهو أَهْلَكُهُم
“Siapa yang bilang ‘orang-orang udah rusak’, maka dia yang paling rusak di antara mereka.” (HR. Muslim)
Kadang, orang yang paling sibuk nyalahin, justru lagi nutupin kekacauan dalam dirinya sendiri.
Hijrah itu bukan cuma soal apa yang kelihatan. Tapi soal hati yang makin tunduk dan nggak sibuk nyari salah orang. Bukan makin keras, tapi makin halus. Bukan makin tinggi, tapi makin nunduk.
Imam Ahmad rahimahullah pernah bilang:
أَحَبُّ شَيْءٍ إِلَى اللَّهِ: سَتْرُ العَبْدِ عَلَى نَفْسِهِ
“Hal yang paling Allah cintai adalah saat seorang hamba nutupin aib dirinya sendiri.” (Az Zuhd, Ibn Al Mubarak)
So, yuk terus jalanin hijrah ini. Tapi jangan berhenti di kulitnya. Fokus perbaiki isi. Karena ujung dari hijrah bukan tampil beda, tapi jadi hamba yang makin rendah hati dan makin takut nyakitin orang lewat vonis dari lidah dan hati.
Komentar
Posting Komentar