Ciri utama yang menjadi tolok ukur saat itu dapat dirangkum dalam tiga poin pokok:
- Komitmen terhadap tauhid al-asma was-sifāt sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alayhi wasallam, sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'iin
- Semangat untuk kembali kepada tauhid sekaligus memberantas praktik kesyirikan.
- Semangat untuk kembali kepada sunnah dengan menolak fanatisme buta.
Karena kriteria tersebut relatif sederhana, maka banyak tokoh lintas latar belakang dapat dianggap sebagai bagian dari semangat salafi. Misalnya:
- Abu Ismail al-Harawi, seorang sufi yang dikenal hardcore, tetap dihormati bahkan digelari Syaikh al-Islam.
- Asy-Syathibi, meskipun bermazhab Asy‘ari, karyanya menjadi rujukan utama dalam pembahasan bid‘ah.
- Adz-Dzahabi, sebagaimana terlihat dalam Siyar A‘lam an-Nubala’.
- Muhibbuddīn al-Khatib, penulis al-Khuṭuṭ al-‘Ariḍah.
- Taqiyyuddin al-Hilali, tokoh salafi Maroko, tetap menghargai Hasan al-Banna.
- Abu Syamah al-Maqdisi, karyanya tentang pengingkaran bid‘ah menjadi rujukan, meski ia juga “membid‘ahkan” sekaligus “menghasanahkan” maulid Nabi.
Contoh dari Nusantara pun ada. Syaikh As-Surkati sering dipandang dekat dengan semangat salafi, meskipun memiliki nuansa khas. Begitu juga Prof. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, guru dari salah satu ulama senior Indonesia. Bahkan M. Natsir, jika diukur dengan standar manhaj salafi yang ketat saat ini, mungkin akan dicap sebagai hizbi atau ikhwani.
Lalu muncul pertanyaan: mengapa pada masa kini umat disuguhi pesan “berguru hanya kepada yang jelas (kelompoknya)?”
Fragmentasi Pasca Perang Teluk
Pasca Perang Teluk, gerakan salafi mengalami pecah-belah internal yang cukup serius. Secara garis besar, muncul tiga kelompok utama:
- Kelompok Sururi.
- Kelompok Madkhali.
- Kelompok netral yang memilih diam, namun sering dituduh tidak jelas, bahkan kerap dicap sebagai Sururi atau Ikhwani. Pengecualian biasanya diberikan kepada mereka yang memiliki legitimasi langsung di Arab Saudi.
Fragmentasi tidak berhenti di situ. Dari kelompok kedua lahir berbagai pecahan baru, seperti:
- Haddadiyyah
- Hajuriyyah
- Shoafiqah
- Mushoifiqah
- Halabiyyun
- Malibariyyin
Selain itu, terdapat pula kelompok kecil lain di berbagai negara. Misalnya, di Indonesia muncul perbedaan antara kelompok jumhur dan non-jumhur. Di Yaman, fragmentasi semakin banyak, sementara di Mesir muncul tokoh-tokoh dengan basis pengikut yang beragam, seperti Raslan, Ridhwani, Biely, dan bahkan Hasan al-Banna (yang dalam konteks tertentu juga dianggap berdekatan dengan salafi, khususnya penjelasan Salimul ‘Aqidah).
Refleksi
Pertanyaan mendasar adalah: siapa sebenarnya yang menyebabkan perpecahan ini, dan mengapa terjadi?
Sesungguhnya, tidak ada seorang muslim pun yang menolak semangat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman generasi salaf. Namun, masalah muncul ketika muncul klaim-klaim sektarian yang mengesankan “Salafi yang benar adalah versi kami”.
Padahal, hakikat salafi adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salaf, bukan sekadar mengikuti penafsiran kelompok tertentu atas salaf.
Tidak ada yang sempurna dalam beragama. Selama semangat dan komitmen terhadap prinsip utama sama, maka perbedaan teknis seharusnya tidak dijadikan alasan untuk saling menegasi. Sebaliknya, ketika sebuah kelompok merasa sebagai satu-satunya representasi paling “orisinal” di dunia, klaim tersebut justru terkesan berlebihan, bahkan cenderung naif. Allahu A'lam
Tulisan mohon maaf bukan membahas tentang manhaj salaf karena tidak membahas ttg manhaj salaf secara Ushul yg kembali kepada kitab ² turats yg ditulis pada generasi salaf,hanya membahas ttg penomena komunitas yg mengaku salafi tentu TDK tepat dgn judul nya.
BalasHapusJustru judul dan isi sangat relevan, karena tulisan ini memang menyasar para pendaku salafi yang suka bermudah-mudahan mengeluarkan seseorang dari manhaj salaf hanya karena adanya perbedaan pandangan dalam perkara tertentu.
Hapus