المعاصي بريد الكفر
"Maksiat adalah jalan menuju
kekufuran"
Dan yang dimaksud di sini adalah
setiap dosa selain syirik. Para ulama salaf tidak bermaksud bahwa suatu dosa
itu sendiri adalah kekufuran.
Sudah menjadi hal yang diketahui
di kalangan Ahlus Sunnah bahwa melakukan maksiat sendirian (tanpa
disertai pengingkaran terhadap hukum Allah) tidak mengeluarkan pelakunya
dari agama Allah, dan tidak menjatuhkannya ke dalam riddah (kemurtadan).
At-Thahawi berkata dalam
‘Aqidah-nya:
"ولا نُكَفِّرُ أحدًا من أهلِ
القِبلةِ بذَنبٍ ما لم يَستحِلَّه"
"Kami tidak mengkafirkan
seorang pun dari kalangan Ahlul Qiblah karena suatu dosa, selama ia tidak
menghalalkannya."
Lalu beliau menegaskan lagi dengan ucapannya:
"ولا نقولُ: لا يَضُرُّ مع الإيمانِ
ذَنبٌ لِمن عَمِلَه"
"Dan kami tidak
mengatakan bahwa tidak ada dosa yang membahayakan iman bagi pelakunya."
Ini karena Ahlus Sunnah
berpendapat bahwa melakukan maksiat – dan bertemu Allah dalam keadaan
membawa maksiat tersebut tanpa taubat – adalah perbuatan yang diancam dengan
azab dan hukuman di akhirat. Mereka juga berkeyakinan bahwa maksiat berpengaruh
terhadap keimanan dalam hal bertambah dan berkurangnya, bukan dalam hal ada
atau tidaknya iman itu sendiri.
Telah menjadi kesepakatan di
antara Ahlul Haq bahwa al-ishrār (الإصرار) — yaitu tetap
bertahan dalam kemaksiatan dengan mengetahui bahwa itu adalah dosa,
namun tanpa istighfar atau taubat — tidak otomatis menunjukkan
bahwa pelakunya menghalalkan dosa tersebut.
Sebab, betapa banyak orang
yang bermaksiat karena kalah oleh syahwat, sehingga ia terus-menerus
melakukannya, padahal ia meyakini keharamannya dan hatinya membencinya.
Bahkan bisa jadi, di dalam hati pelaku maksiat tersebut terdapat kecintaan
yang besar kepada Allah, meskipun ia tetap terjatuh dalam maksiat.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari:
عن عمرَ بنِ الخطابِ أنَّ رجلًا على عهدِ النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان اسمه عبدَ الله، وكان يُلقَّبُ حمارًا، وكان يُضحِكُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم، وكان النبيُّ صلى الله عليه وسلم قد جلَده في الشرابِ، فأُتيَ به يومًا، فأمَرَ به فجُلِد، فقال رجلٌ من القومِ: اللهم العنه، ما أكثرَ ما يُؤتَى به!! فقال النبيُّ صلى الله عليه وسلم: لا تَلعَنوه، فواللهِ ما علمتُ إنه يحبُّ اللهَ ورسولَه
Artinya:
Dari Umar bin Khattab, bahwa ada seorang lelaki pada masa Nabi shollallahu 'alayhi wasallam yang bernama Abdullah, dan ia dijuluki “Himâr” (si keledai). Ia biasa membuat Rasulullah shollallahu 'alayhi wasallam tertawa. Nabi shollallahu 'alayhi wasallam pernah mencambuknya karena minum khamar. Suatu hari ia dibawa lagi (karena perbuatan yang sama), lalu Nabi memerintahkan agar ia dicambuk. Maka seorang dari kaum berkata, “Ya Allah, laknatilah dia! Betapa sering ia dibawa (karena kasus ini)!” Maka Nabi shollallahu 'alayhi wasallam bersabda, “Jangan kalian melaknatnya! Demi Allah, yang aku tahu, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Manusia sendiri bisa merasakan
hal ini pada dirinya. Terkadang ia diuji dengan suatu dosa yang terus ia
lakukan, padahal ia meyakini keharamannya, berharap bisa terbebas darinya,
dan sering memohon kepada Allah agar mengampuninya dan memberi maaf
atasnya.
Peringatan terhadap ishrār (terus-menerus
dalam dosa) dimaksudkan karena hal itu bisa menjadi jalan menuju
penghalalan (istihlal) suatu dosa.
Tujuan para salaf dalam ucapan
mereka bukanlah menyatakan bahwa maksiat itu sendiri merupakan
kekufuran, melainkan bahwa maksiat dapat menjadi jalan dan sebab yang
mengantarkan kepada kekufuran. Oleh karena itu, mereka berkata:
المعاصي بريد الكفر، كما أن القبلة
بريد الجماع، والنظر بريد العشق، والمرض بريد الموت
"Maksiat adalah jalan
menuju kekufuran, sebagaimana ciuman adalah jalan menuju hubungan badan,
pandangan adalah jalan menuju cinta syahwat, dan penyakit adalah jalan menuju
kematian."
Maka dikhawatirkan bagi pelaku
dosa yang terus-menerus terjerumus di dalamnya, tidak bertaubat
darinya, akan ditutup amalnya dengan akhir yang buruk – kita
berlindung kepada Allah dari hal itu.
Al-Bukhari rahimahullah memberi judul dalam Shahih-nya:
باب ما يُحذَر من الإصرار على النفاق
والعصيان من غير توبة، لقول الله تعالى
{وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا
فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ}
Bab: Peringatan terhadap bahaya
terus-menerus dalam kemunafikan dan maksiat tanpa taubat, berdasarkan firman
Allah Ta‘ala:
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا
فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"Dan mereka tidak terus-menerus melakukan dosa itu
sedang mereka mengetahui." (QS. Ali ‘Imran: 135)
Ibnu Rajab rahimahullah
berkata dalam Syarh Shahih al-Bukhari:
مراده أن الإصرار على المعاصي وشعب النفاق من غير
توبة، يُخشى منها أن يُعاقَب صاحبُها بسلب الإيمان بالكلية، وبالوصول إلى النفاق
الخالص، وإلى سوء الخاتمة، نعوذ بالله من ذلك، كما يقال إن المعاصي بريد الكفر
"Maksud Imam Bukhari adalah bahwa terus-menerus dalam maksiat dan ciri-ciri kemunafikan tanpa taubat bisa menyebabkan pelakunya dihukum dengan pencabutan iman secara keseluruhan, dan bisa sampai pada kemunafikan sejati serta su’ul khatimah (akhir yang buruk). Kita berlindung kepada Allah dari hal itu. Sebagaimana dikatakan: Sesungguhnya maksiat adalah jalan menuju kekufuran." (Fath al-Bari li Ibn Rajab, 1/181)
Bagaimana Maksiat Dapat Mengantarkan Kepada Kekufuran?
Sebabnya adalah karena dosa-dosa saling menarik satu sama lain, dan sebagian mengajak kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya termasuk hukuman dari satu dosa adalah dosa setelahnya, sebagaimana keberkahan dari satu kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Maka dosa-dosa itu semakin banyak menimpanya hingga membinasakannya.
Maka bisa jadi dosa itu membinasakannya karena jumlahnya yang banyak sehingga kejahatannya mengalahkan kebaikannya lalu ia binasa. Atau setan menjerumuskannya secara bertahap dari dosa-dosa kecil menuju dosa besar, dari dosa besar ke yang lebih besar lagi, hingga akhirnya kepada kekufuran. Sampai-sampai benar berlaku padanya ucapan salaf rahimahumullah, lalu ia binasa.
Kemudian, termasuk dari hukuman atas maksiat adalah Allah membiarkan pelakunya tanpa pertolongan (dikhianati oleh dirinya sendiri), dan setan pun menyeretnya untuk terjatuh dalam pelanggaran-pelanggaran. Sebagaimana firman Allah Subḥānahu wa Taʿālā:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا}[آل عمران:155]
"Sesungguhnya orang-orang di antara kalian yang berpaling (mundur) pada hari bertemunya dua pasukan, hanyalah setan yang membuat mereka tergelincir karena sebagian dari kesalahan yang telah mereka perbuat." (QS. Āli ʿImrān: 155)
Yakni, mereka terjatuh dalam pelanggaran itu disebabkan dosa-dosa mereka sendiri, yang menyeret mereka dan dimanfaatkan oleh setan hingga menjatuhkan mereka ke dalamnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa maksiat memiliki pengaruh besar terhadap terbukanya kehinaan dan lemahnya seorang hamba, baik di hadapan dirinya sendiri maupun di hadapan musuhnya.
Dan maksiat dapat mengantarkan kepada sikap berpaling dari mengikuti kebenaran dan menjauhinya, sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta'ala:
فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ}[المائدة:49]
Yakni, jika mereka berpaling dari mengikuti kebenaran, maka ketahuilah bahwa itu adalah hukuman atas sebagian dosa dan kemaksiatan yang telah mereka lakukan...
Sebagian ulama berkata: Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa maksiat dapat menyeret seseorang untuk berpaling dari ketaatan kepada Allah. Karena jika jiwa sudah terbiasa dengan maksiat dan bersikap sombong dari taat kepada Allah, maka hal itu akan mengantarkannya untuk melakukan dosa yang lebih besar lagi.
Kemudian, apabila seorang hamba telah terbiasa melakukan maksiat, merasa ringan terhadap dosa, dan memperbanyaknya, maka hatinya akan melemah sedikit demi sedikit. Bersamaan dengan itu, kekuatan iman dan cinta kepada Ar-Raḥmān pun berkurang. Maka berkurang pula rasa benci terhadap maksiat dan kejengkelan hati terhadapnya.
Akibat dari hal itu adalah munculnya sikap meremehkan maksiat dan menganggap enteng bahayanya, karena lemahnya rasa cinta (kepada Allah), lemahnya pengawasan diri, dan sedikitnya rasa malu.
Dan bisa jadi keadaan makin memburuk, hingga hati benar-benar menyerap maksiat yang terus-menerus dilakukannya. Maka ia pun berpindah dari sekadar tergelincir, menjadi mencintai dosa dan bersikeras atasnya, lalu mencari-cari cara untuk bisa meraihnya, kemudian merasa sedih dan sakit hati bila kehilangan kesempatan melakukannya. Setelah itu, rasa malu terhadap dosa pun hilang dari hatinya, hingga ia pun terang-terangan melakukannya, bahkan bisa sampai mengajak orang lain kepadanya dan menjadi sebab orang lain jatuh dalam dosa tersebut.
Akhirnya, urusannya sampai pada titik di mana lenyap dari hatinya kewajiban untuk meyakini bahwa perbuatan itu haram, lalu ia menghalalkan dosa itu karena terlalu akrab dan cintanya terhadap dosa tersebut. Maka pelanggaran itu pun dianggapnya seperti perkara yang mubah (boleh), tanpa rasa benci dan tanpa takut akan akibatnya. Sehingga rusaklah imannya dari dalam, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ar Ran dan Penutupan Hati (Ṭab)
Nabi shallallahu 'alayhi wasallam mengabarkan bahwa maksiat dapat menyelimuti dan mengepung hati, hingga menutup dan memenuhinya dengan ar-ran (karat hitam). Beliau bersabda:
إنَّ العبدَ إذا أخطأَ خطيئةً نُكِتت في قلبِهِ نُكْتةٌ سوداءُ، فإذا هوَ نزعَ واستَغفرَ وتابَ سُقِلَ قلبُهُ، وإن عادَ زيدَ فيها حتَّى تعلوَ قلبَهُ، وَهوَ الرَّانُ الَّذي ذَكَرَ اللَّه كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sesungguhnya seorang hamba, apabila melakukan suatu kesalahan (dosa), maka akan ditorehkan dalam hatinya satu titik hitam. Jika ia berhenti (dari dosa itu), beristighfar, dan bertobat, maka hatinya akan dibersihkan. Namun jika ia kembali (berbuat dosa), maka akan ditambahkan titik hitam itu hingga menutupi seluruh hatinya. Itulah yang disebut dengan ar-ran (karat hitam) yang Allah sebutkan dalam firman-Nya: 'Sekali-kali tidak! Bahkan telah tertutup (karena dosa) hati mereka oleh apa yang selalu mereka kerjakan.'. (HR. At Tirmidzi)
Artinya, ar-ran menutupi hati hingga memadamkan cahayanya. Maka mata batin pun menjadi buta: ia melihat yang benar sebagai kebatilan, dan kebatilan sebagai kebenaran; melihat yang baik sebagai sesuatu yang buruk, dan yang buruk sebagai sesuatu yang baik. Inilah makna dari firman Allah Ta‘ālā:
"Sekali-kali tidak! Bahkan telah tertutup (karena dosa) hati mereka oleh apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. Al-Muṭaffifin: 14)
Meskipun ayat ini turun mengenai orang-orang kafir, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam menyebutnya sebagai peringatan bagi orang-orang beriman, agar mereka takut terhadap banyaknya dosa yang bisa menghitamkan hati mereka, sebagaimana hati orang-orang kafir menjadi hitam karena dosa.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Tenggelam dalam maksiat atau bersikeras di atasnya bisa menjadikan maksiat itu mengepung pelakunya dan menumbuhkan kemunafikan di dalam hatinya, hingga ar-ran (karat hati) menutupi hatinya dan menutup seluruh jalan kebaikan darinya tanpa ia sadari.
Akhirnya, bisa jadi yang gugur darinya adalah amal hati, maka ia terjungkal (dalam kesesatan) dan ia membenarkan segala bentuk keburukan yang ia lakukan, hingga akhirnya ia sampai pada tahap menghalalkan maksiat.
Atau, yang gugur darinya adalah ucapan hati maka ia mengingkari sebagian dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam demi membenarkan tuntutan hawa nafsu dan syahwatnya."
Dan tidak ada lagi setelah hati diliputi oleh ar-ran (karat dosa), kecuali pembalikannya (ke dalam kesesatan) dan penguncian atasnya. Na‘udzu billah (kita berlindung kepada Allah dari hal itu).
Kesimpulannya:
Bahwa melakukan pelanggaran dan kemungkaran, serta terbiasa melakukannya, bisa saja pada akhirnya menyeret seseorang hingga terlepas dari agama. Dan hal itu tidak terjadi dalam sehari semalam, melainkan sedikit demi sedikit, hingga seseorang keluar dari agama secara total.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyatul Awliya, dari Ḥudzaifah bin Yaman radhiyallahu 'anhu, bahwa ada yang bertanya kepadanya: "Apakah Bani Israil meninggalkan agama mereka dalam satu hari?"
Ia menjawab: "Tidak. Tapi setiap kali mereka diperintah untuk melakukan sesuatu, mereka meninggalkannya. Dan jika dilarang dari sesuatu, mereka justru melakukannya, hingga mereka terlepas dari agama mereka sebagaimana seseorang melepaskan bajunya."
Maka waspadalah terhadap dosa, dan bergegaslah untuk bertobat serta kembali kepada Allah, karena itulah jalan keselamatan dan keberuntungan, sebagaimana firman Allah:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
"Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung." (QS. An-Nūr: 31)
Komentar
Posting Komentar