Syaikh Rabi’ Al Madkhali telah wafat. Sudah sepatutnya bagi kita untuk mendoakan rahmat dan ampunan bagi beliau, serta menyikapi kesalahan-kesalahan (zallah) beliau dengan pendekatan yang ilmiah. Namun, penting pula untuk memahami kekeliruan beliau yang membuat pemikiran-pemikirannya kemudian digolongkan sebagai bagian dari suatu sekte.
Mengenal Pemikiran Madkhaliyyah
(Asy Syaikh Asy Syarif Dr. Al Hassan Al Kattani ḥafiẓahullah)
Kemunculan pemikiran Madkhaliyyah mulai tampak jelas saat terjadi Perang Teluk Pertama, ketika Saddam Hussein dari Irak menyerang dan mencaplok Kuwait pada tahun 1410 H, serta mengancam keamanan Kerajaan Saudi. Saudi kemudian meminta bantuan militer dari Amerika Serikat.
Saat itulah Syaikh Ṣafar Al Ḥawali (semoga Allah membebaskannya) dan sejumlah ulama lainnya tampil menentang langkah tersebut, dengan mengemukakan dalil-dalil yang mengharamkan meminta bantuan kepada orang kafir untuk melawan sesama Muslim.
Namun, muncul pula tokoh seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair aAl Madkhali dan gurunya, Muhammad Aman Al Jami, yang justru mendukung tindakan itu. Mereka berpendapat bahwa Saddam Hussein adalah seorang Ba’tsi yang kafir, bukan seorang Muslim.
Dari sinilah mulai tampak sikap berlebihan dalam isu ketaatan kepada penguasa (Ghulluw fith tho'ah). Mereka bahkan menyatakan bahwa ucapan penguasa menjadi pemutus perselisihan yang wajib diikuti.
Syaikh Rabi’ dan para pengikutnya lalu mencela para penentangnya dengan sebutan "Quthbiyyun", merujuk kepada Sayyid Quthb dan Muhammad Quthb raḥimahumallah karena banyak dari mereka yang sempat belajar kepada Muhammad Quthb dan terpengaruh oleh tulisan-tulisan Sayyid Quthb.
Mereka juga menyematkan label "Sururiyyah" kepada kelompok lain yang dinisbatkan kepada Syaikh Muḥammad Surur Zain Al 'Abidīn asy Syami Ḥawrani rahimahullah yang dikenal sebagai guru dari Syaikh Salman Al 'Awdah faqqahullahu asrah.
Sebaliknya, kelompok lain menamai pengikut Rabi’ dengan sebutan "Jāmiyyah", merujuk kepada Muhammad Aman al Jami, dan "Madkhaliyyah", merujuk kepada Syaikh Rabi’ al Madkhali.
Ciri-ciri Manhaj Madkhali Jami
Pemikiran dan sikap kelompok ini lambat laun berkembang dan dikenal dengan sejumlah karakteristik sebagai berikut:
1. Ghuluw dalam ketaatan kepada penguasa. Bahkan sampai pada titik membela penguasa zindiq atau penjajah. Ironisnya, mereka justru tidak menaati penguasa yang berbeda pandangan dengan mereka seperti Ṭaliban, Ikhwanul Muslimin, dan lainnya. Sebuah kontradiksi yang nyata.
2. Berlebihan dalam memusuhi pelaku bid‘ah. Permusuhan mereka terhadap sesama Muslim yang dianggap ahli bid‘ah lebih keras daripada permusuhan mereka terhadap orang-orang kafir asli.
3. Sebagian dari mereka terjerumus dalam pemikiran Murji’ah. Terutama di kalangan pengikut non-Arab, mereka tidak memasukkan amal dalam definisi iman.
4. Tidak mendukung revolusi Arab maupun jihad. Namun di Libya, mereka justru mendukung Jenderal Ḥaftar yang memberontak kepada pemerintahan sah, memecah belah negara, dan memerangi para mujahidin. Mereka mengangkat Ḥaftar yang berideologi Ba’tsi dan sekuler sebagai pemimpin Ahlus Sunnah yang wajib ditaati. Bahkan, keterlibatan mereka mencapai tragedi terbunuhnya ulama besar, Syaikh Nadir al-‘Umrani rahimahullah.
Di Saudi, mereka mendorong penangkapan dan pembunuhan para ulama. Mereka justru bergembira atas wafatnya beberapa orang shalih dan ulama, sementara diam seribu bahasa atas kezaliman dan korupsi penguasa.
Di Mesir, mereka mendukung kudeta as-Sisi dan mencela Presiden Mursi raḥimahullah yang terpilih secara sah. Mereka juga mendukung pembantaian terhadap kaum Muslimin di lapangan Rabi‘ah dan Nahḍah secara terang-terangan.
Mereka termasuk pihak yang paling keras dalam meremehkan perjuangan rakyat Gaza serta mencela pihak-pihak yang mendukung perjuangan di Baitul Maqdis dan sekitarnya.
5. Berlebihan dalam memboikot sesama yang berbeda dalam cabang. Mereka memutus hubungan bahkan dengan orang yang sepaham secara akidah hanya karena berbeda dalam satu perkara yang mereka anggap kesalahan. Akibatnya, dalam kelompok mereka sendiri banyak terjadi perpecahan, saling membantah, dan saling menyesatkan. Potensi perpecahan ini bisa semakin besar setelah wafatnya tokoh sentral mereka.
6. Tidak dikenal sebagai ahli ilmu, ibadah, atau zuhud. Waktu mereka banyak tersita untuk sibuk dalam perdebatan, mencela, dan menyebar celaan kepada sesama Muslim, daripada mendalami ilmu atau memperbanyak amal ibadah.
Penutup
Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari fitnah dan keburukan pemikiran seperti ini, serta menganugerahkan keselamatan bagi umat Islam dari penyimpangan yang berbahaya tersebut.
Komentar
Posting Komentar