Langsung ke konten utama

Catatan Kritis Seorang Muslim atas Insiden Penyerangan Retret Kristen di Cidahu: Refleksi untuk Umat dan PBNU

Saya, sebagai seorang muslim, merasa sedih sekaligus prihatin melihat peristiwa penyerangan tempat ibadah di Cidahu, Sukabumi. Apapun alasan yang dikemukakan, tindakan main hakim sendiri, apalagi berujung kekerasan atas nama agama, adalah cerminan kemunduran moral dan intelektual sebagian umat ini.

Padahal Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam dengan tegas melarang keras umat Islam mengganggu non-muslim yang hidup damai di tengah kita, termasuk Ahludz Dzimmah maupun Mu'ahad. Beliau bersabda:

ألا مَن ظلمَ مُعاهدًا، أوِ انتقصَهُ، أو كلَّفَهُ فوقَ طاقتِهِ، أو أخذَ منهُ شيئًا بغَيرِ طيبِ نفسٍ، فأَنا حَجيجُهُ يومَ القيامةِ

“Ketahuilah! Barang siapa men‑zalimi seorang mu'ahad), atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaannya, maka akulah yang akan menuntutnya pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud)

Dan mari kita bicara jujur. Percayalah, anak-anak yang menjadi korban "barbarisme" umat Islam di Cidahu itu, besar kemungkinan akan tumbuh menjadi penghujat Islam nomor satu. Itu bukan semata-mata karena mereka benci kebenaran Islam, tapi karena citra Islam yang mereka lihat dan rasakan adalah kekerasan, kebencian, dan ketidakadilan.

Lalu, siapa yang harus disalahkan? Tak lain dan tak bukan adalah perangai sebagian umat Islam itu sendiri, yang alih-alih menunjukkan wajah rahmatan lil 'alamin, justru memperkuat stigma negatif terhadap Islam.

Padahal Allah sudah menegaskan tujuan diutusnya Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bukan untuk membawa kebencian, tapi rahmat:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107)

Uniknya, jika kita lihat lebih dalam, kasus-kasus intoleransi brutal seperti ini, biasanya bukan datang dari umat Islam berlatar belakang pemahaman Salafi, suatu kelompok yang justru sering menjadi korban stigmatisasi intoleran oleh media dan elit-elit tertentu, khususnya PBNU.

Lalu dari mana? Fakta lapangan menunjukkan, sebagian besar pelaku justru berasal dari kalangan umat Islam dengan latar belakang amaliyah Nahdlatul Ulama (NU), ormas yang elit-elitnya kerap tampil seolah paling toleran, paling moderat, dan paling open minded. Kita lihat, bagaimana para tokohnya dengan bangga menghadiri acara di gereja, bahkan bersholawat di sana, atas nama toleransi.

Tapi ironisnya, ketika ada kajian Islam internal umat sendiri yang dianggap tidak sejalan, bukan dialog atau bantahan ilmiah yang dikedepankan, melainkan pembubaran paksa, ancaman, bahkan kekerasan. Di mana letak konsistensi itu?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sudah menekankan pentingnya berlaku adil bahkan terhadap non-muslim sekalipun, apalagi kepada sesama muslim:

فالواجب على المسلمين أن يعدلوا مع الكفار في كل شيء، كما أمر الله بذلك، ومن العدل ترك أذاهم في أموالهم ودمائهم وأعراضهم، وترك ظلمهم، فإن الله يحب العدل

"Wajib bagi kaum muslimin untuk berlaku adil terhadap orang-orang kafir dalam segala hal, sebagaimana Allah perintahkan. Termasuk keadilan itu adalah tidak mengganggu harta mereka, darah mereka, kehormatan mereka, dan tidak menzhalimi mereka. Sesungguhnya Allah mencintai keadilan." (Majmu' al-Fatawa, 28/254)

Tulisan ini bukan bermaksud menebar kebencian kepada PBNU. Tidak. PBNU adalah bagian besar dari tubuh umat Islam di Indonesia, yang jasanya pun tak bisa dinafikan. Tapi kritik ini adalah panggilan nurani untuk membangun kesadaran di kalangan warga PBNU, khususnya mereka yang selama ini menikmati citra toleran di mata publik, padahal realitanya, jauh panggang dari api.

Bahkan di tingkat paling sederhana saja, seperti persoalan penggunaan toa masjid, ketidakteraturan dan ketidaksensitifan masih menjadi masalah. Tak heran, di banyak perumahan elit, muncul ungkapan:

 "Kalau di komplek kita ada masjid, lebih baik dikelola pihak non-NU. Biar toa cukup untuk adzan dan iqomah saja, bukan dipakai sepuasnya."

Ini bukan soal membenci PBNU atau membela kelompok tertentu, tapi soal konsistensi. Jangan di satu sisi tampil sebagai pionir toleransi di forum-forum besar, tapi di sisi lain membiarkan, bahkan membenarkan, aksi-aksi intoleransi yang dilakukan oleh akar rumput sendiri.

Mari kita jujur. Islam itu mulia. Tapi kemuliaan itu tak akan terlihat selama sebagian umat ini masih sibuk membanggakan identitas kelompoknya sambil menutup mata atas aib internal sendiri.

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata dengan sangat tajam:

"لا شيء أفسد للدين والدنيا من تناقض القول والفعل، فإنه يوجب مقت الله والناس."

"Tidak ada sesuatu yang lebih merusak agama dan dunia daripada kontradiksi antara ucapan dan perbuatan. Itu mendatangkan kemurkaan Allah dan kebencian manusia." (Miftah Dar as-Sa'adah, 1/177)

Kalau kita sungguh ingin Islam dikenal sebagai rahmatan lil 'alamin, mulailah dengan kejujuran menatap kekurangan di tubuh umat ini, lalu perbaiki dengan ilmu, adab, dan keteladanan, bukan sekadar dengan citra atau simbol yang kosong makna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Mantan Penyanyi Kafe Ini Sebar Syubhat Lagi, Umat Islam Harus Tahu!

Membantah Syubhat Riyadh Bajrey Hadahullah Riyadh Bajrey hadahullah seorang mantan penyanyi kafe, dan mantan peminum khamar serta perokok aktif hingga sekarang, lagi-lagi membuat perkatan yang menimbulkan polemik di tengah umat. Sebelumnya dia mengatakan rokok itu halal, sekarang dia Kembali berulah dengan mengatakan bahwa Khamr itu lebih baik daripada membuat kajian berbayar, dan demo itu perbuatan yang menabrak ushuluddin. Nah, sekarang mari kita bedah seputar rokok, khamar, kajian berbayar, kampanye, dan demo. Riyadh Bajrey tentang rokok: “Kami meyakini kehalalannya” Dalam salah satu klarifikasinya ketika videonya sedang viral karena terlihat merokok, Riyadh Bajrey secara gamblang dan meyakinkan menyatakan bahwa rokok itu halal. Pernyataan ini justru sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama rabbani kontemporer. Jangankan ulama-ulama yang menjadi rujukan dalam kaidah manhaj salaf, bahkan ulama yang menurut sebagian kelompok dianggap di luar manhaj salaf—yang merokok...