Langsung ke konten utama

Suami Relijius, Tapi Jahil: Ketika Dalil Digunakan untuk Menelantarkan Istri

Tidak sedikit konflik rumah tangga muncul Ketika seorang suami dalam kondisi finansial yang terbatas, justru lebih memilih mengeluarkan harta untuk ibunya atau saudaranya dengan alasan pengabdian kepada orangtua dan perhatian kepada saudara. Sementara itu, kebutuhan pokok rumah tangga Bersama istri dan anaknya justru akhirnya terabaikan. Ketika sang istri mempertanyakan hal tersebut demi kebutuhan primer, sang suami malah tersinggung dan marah, bahkan mengeluarkan dalil untuk berdalih “aku dan hartaku miliki orangtuaku”;

أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ

“Engkau dan hartamu milik orangtuamu” (HR. Imam Ahmad)

Hadits di atas itu benar, namun menjadi musibah ketika diketahui oleh lelaki relijius tapi jahil yang biasanya baru beberapa kali ikut pengajian atau orang-orang yang memang memiliki nalar dan daya tangkap yang lemah dalam memahami dan penggunaan dalil, karena setiap dalil memiliki tempat dan objek masing-masing.

Para ulama menjelaskan jika kondisi ekonomi sulit, harta yang ada wajib diutamakan untuk kebutuhan istri dan anak. Tidak boleh diambil untuk orang tua jika itu akan menyebabkan kerugian bagi keluarga inti.

Syaikh Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan;

ٱلْإِنْفَاقُ عَلَى ٱلزَّوْجَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى ٱلْأُمِّ وَٱلْأَبِ وَٱلْأَوْلَادِ

“Menafkahi istri didahulukan atas ibu, bapak, dan anak-anak.” (Syarah Zadul Mustaqni 6/15)

Dan bukan ulama bila berbicara tanpa dalil, Syaikh Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan hal tersebut berangkat dari hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تَصَدَّقُوا "، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ، قَالَ: " تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ "، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: " تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجِكَ "، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: " تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ "، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: " أَنْتَ أَبْصَرُ "

"Bersedekahlah kalian!"Lalu seorang lelaki berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar." Beliau bersabda: "Sedekahkanlah untuk dirimu sendiri." Ia berkata: "Aku masih memiliki yang lain." Beliau bersabda: "Sedekahkanlah untuk istrimu." Ia berkata: "Aku masih memiliki yang lain. "Beliau bersabda: "Sedekahkanlah untuk pelayanmu." Ia berkata: "Aku masih memiliki yang lain." Beliau bersabda: "Engkau lebih tahu (apa yang harus engkau lakukan dengannya)."

Dari hadits di atas sudah sangat jelas bahwa Nabi ‘alayhi sholaatu wa sallam menyampaikan kepada para suami agar mengutamakan istri dibandingkan orangtua dan saudaranya, bahkan anaknya. Karena setiap lelaki yang telah berkeluarga, keluarga inti dia adalah anak dan istrinya, mereka adalah tanggungan utama kita.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

“Mulailah (nafkah itu) dengan orang yang menjadi tanggunganmu” (HR. Bukhari – Muslim)

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah pun mengatakan;

وَالْإِنْفَاقُ عَلَى الزَّوْجَةِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْإِنْفَاقِ عَلَى الْأَبَوَيْنِ وَغَيْرِهِمَا، لِأَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَيْهِ وَلَا يُشْتَرَطُ لَهُ الْإِذْنُ، وَهُوَ مُعَيَّنٌ لَا يَسْقُطُ بِالإِعْسَارِ

“Nafkah kepada istri didahulukan atas nafkah kepada orang tua dan selain mereka, karena itu wajib atas suami tanpa syarat, dan ia adalah kewajiban yang pasti yang tidak gugur meskipun dalam keadaan sulit.”(Al Mughni, 9/229)

Maka apabila seorang lelaki belum mampu membedakan skala prioritas antara ibu dan istri, maka lebih baik memang untuk tidak menikah dulu, daripada akhirnya melakukan dosa besar karena menelantarkan anak dan istrinya untuk orang yang berada di luar tanggungannya.

Berbakti kepada orangtua itu memang suatu keharusan, tapi ketika berbicara soal nafkah di sini maka tidak ada yang lebih utama dibandingkan nafkah kepada istri.

Dalam kitab Kasyfu Al Qina’ dalam syarah matan Al Iqna’ tertulis di sana:

وَيَبْدَأُ مَنْ لَمْ يَفْضُلْ عَنْهُ مَا يَكْفِي جَمِيعَ مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُمْ بِالْإِنْفَاقِ عَلَى نَفْسِهِ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْهُ نَفَقَةُ وَاحِدٍ فَأَكْثَرَ بَدَأَ بِامْرَأَتِهِ، لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى سَبِيلِ الْمُعَاوَضَةِ، فَقُدِّمَتْ عَلَى الْمُوَاسَاةِ

"Orang yang tidak memiliki kelebihan harta yang cukup untuk menafkahi seluruh pihak yang wajib ia nafkahi, maka ia memulai dengan menafkahi dirinya sendiri. Jika setelah itu masih ada kelebihan yang cukup untuk menafkahi satu orang atau lebih, maka ia memulai dengan istrinya, karena nafkah kepada istri adalah kewajiban yang bersifat timbal balik (dalam ikatan pernikahan), sehingga didahulukan daripada sekadar memberi bantuan (kepada pihak lain)."

‘Alaa kulli haal, tulisan ini adalah bentuk mengingatkan para lelaki muslim tentang peran sebenarnya seorang suami, yang terkadang kesalahan bersikap dalam rumah tangga dijadikan senjata oleh orang-orang kafir, munafik, dan kaum feminis liberal di luar sana. Islam sebagai agama yang intimidatif dan otoritarian terhadap kaum wanita, apalagi setelah menikah mereka anggap sosok istri dalam Islam tak ubahnya bak pembantu dan budak seks semata. Wal ‘iyaadzubillah

Jadi, tulisan ini berbicara tentang skala prioritas dalam pemberian nafkah oleh seorang suami. Dalam kondisi finansial yang terbatas, suami wajib mendahulukan kebutuhan istri dan anak-anaknya dibandingkan orang tua atau saudaranya. Meskipun berbakti kepada orang tua adalah kewajiban, namun dalam hal nafkah, mendahulukan keluarga inti adalah perintah agama yang didukung oleh dalil-dalil yang shahih sebagaimana yang kami kutip satu persatu. Jadi, mengabaikan hal ini dapat berujung pada dosa, karena menelantarkan tanggungan utama. Oleh karena itu, lelaki yang belum mampu membedakan prioritas semestinya, antara orangtua dan istri, maka jangan menikah dulu, habiskanlah hidupmu bersama orangtuamu, agar engkau tidak menghadapi hisab yang berat karena melakuka kezaliman kepada anak dan istri. Wallahul Muwafiq

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...