Langsung ke konten utama

Mazhab dan Pengaruh Politik: Hilangnya Mazhab Imam Al-Auza’i

Dalam sejarah Islam, perkembangan dan hilangnya suatu mazhab fikih tidak hanya ditentukan oleh faktor keilmuan, tetapi juga oleh dinamika politik yang terjadi di suatu wilayah. Salah satu contoh menarik adalah mazhab Imam Al Auza’i rahimahullah, yang pernah berkembang pesat di wilayah Syam (Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) serta sebagian Andalusia, namun akhirnya punah pada abad ke-11.

Imam Al Auza’i rahimahullah adalah seorang ulama besar pada masanya yang memiliki metode istinbath (penggalian hukum) tersendiri. Mazhabnya sempat menjadi rujukan utama di Damaskus dan wilayah sekitarnya, sebelum akhirnya tergeser oleh mazhab Syafi’i. Salah satu faktor utama yang menyebabkan kemunduran mazhab ini adalah perubahan kebijakan politik di Damaskus.

Ketika kota tersebut berada di bawah kepemimpinan Hakim Abu Zur’ah Muhammad bin Utsman rahimahullah, beliau memberikan dukungan penuh terhadap mazhab Syafi’i. Salah satu langkah yang beliau tempuh adalah menawarkan hadiah bagi siapa saja yang berhasil menghafalkan Mukhtashar al Muzani, sebuah kitab inti dalam mazhab Syafi’i. Kebijakan ini secara alami mendorong pertumbuhan mazhab Syafi’i di wilayah tersebut, sementara pengikut mazhab Al Auza’i semakin berkurang hingga akhirnya hilang sebagai mazhab yang dianut secara luas.

Meskipun demikian, pemikiran dan kontribusi Imam Al Auza’i dalam ilmu fikih tidak serta-merta lenyap. Banyak pendapat dan metode istinbath beliau masih terdokumentasi dalam kitab-kitab fikih perbandingan (fiqh muqaran), sehingga tetap menjadi bagian dari khazanah keilmuan Islam. Ini menunjukkan bahwa meskipun suatu mazhab bisa punah secara institusional, warisan keilmuan tetap bertahan dalam sejarah pemikiran Islam.

Kisah ini juga menjadi cerminan bahwa intervensi politik dalam perkembangan mazhab bukan hanya fenomena masa lalu. Di era modern, fenomena serupa masih terjadi dalam bentuk lain. Beberapa kelompok berupaya melenyapkan mazhab atau pemikiran tertentu dengan berbagai cara, termasuk propaganda dan tuduhan yang tidak berdasar. Salah satu contohnya adalah upaya sebagian pihak untuk menstigma pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dengan label “Wahabi” sebagai bentuk delegitimasi.

Sejarah mencatat bahwa perubahan dalam dominasi mazhab sering kali bukan sekadar hasil dari dinamika akademik atau keilmuan, tetapi juga kebijakan politik yang memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap suatu mazhab. Oleh karena itu, memahami bagaimana politik memengaruhi perkembangan fikih dapat membantu umat Islam bersikap lebih bijak dalam menghadapi perbedaan mazhab yang ada.

#KitabEvolusiFiqh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...