Langsung ke konten utama

Mantan Penyanyi Kafe Ini Sebar Syubhat Lagi, Umat Islam Harus Tahu!

Membantah Syubhat Riyadh Bajrey Hadahullah

Riyadh Bajrey hadahullah seorang mantan penyanyi kafe, dan mantan peminum khamar serta perokok aktif hingga sekarang, lagi-lagi membuat perkatan yang menimbulkan polemik di tengah umat. Sebelumnya dia mengatakan rokok itu halal, sekarang dia Kembali berulah dengan mengatakan bahwa Khamr itu lebih baik daripada membuat kajian berbayar, dan demo itu perbuatan yang menabrak ushuluddin. Nah, sekarang mari kita bedah seputar rokok, khamar, kajian berbayar, kampanye, dan demo.

Riyadh Bajrey tentang rokok: “Kami meyakini kehalalannya”

Dalam salah satu klarifikasinya ketika videonya sedang viral karena terlihat merokok, Riyadh Bajrey secara gamblang dan meyakinkan menyatakan bahwa rokok itu halal. Pernyataan ini justru sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama rabbani kontemporer. Jangankan ulama-ulama yang menjadi rujukan dalam kaidah manhaj salaf, bahkan ulama yang menurut sebagian kelompok dianggap di luar manhaj salaf—yang merokok sekalipun—sepakat bahwa rokok itu paling tinggi hanya sampai derajat makruh, dan tidak ada yang berani menaikkannya ke level halal.

Bahkan mereka yang menyatakan mubah (boleh) atau makruh pun umumnya merujuk pada pendapat ulama terdahulu, yang pada zamannya memang ilmu medis belum berkembang dan belum mengetahui dampak buruk rokok, baik bagi perokok aktif maupun pasif. Namun, seiring berkembangnya teknologi, informasi, dan ilmu kedokteran modern, telah terpampang jelas bukti nyata mengenai bahaya rokok. Oleh karena itu, banyak ulama kemudian mengubah fatwanya menjadi haram.

Kalau memang Riyadh Bajrey meyakini bahwa rokok itu halal, lantas mengapa saat dia terekam sedang merokok, matanya langsung melotot, seolah berusaha menutupi perbuatannya? Apakah ini bukan bentuk kemunafikan dan dosa? Mengapa tidak ia lanjutkan saja merokoknya? Bukankah, menurutnya, itu halal? Namun, justru tindakan dia setelah itu menunjukkan bahwa hati kecilnya sebenarnya tahu bahwa merokok itu haram dan tidak pantas. Ada rasa tidak nyaman ketika aksinya tersebut terekam kamera.

Kami teringat satu hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu tidak tenang, dan kamu tidak suka jika hal itu diketahui orang lain.” (HR. Muslim)

Dari tindak-tanduk Riyadh Bajrey setelah videonya viral, terlihat ada ketidaknyamanan dalam dirinya. Dalam video klarifikasinya, ia berbicara ke sana ke mari, bahkan menyeret nama tokoh-tokoh lain—termasuk ustadz senior yang menjadi rujukan umat—yang juga dia sebut seorang perokok. Ya, saat itu Riyadh Bajrey memang sedang mengalami keguncangan jiwa yang hebat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya dia sadar dirinya salah, namun syahwatnya berusaha menampilkan seolah-olah ia benar. Maka, sebagai sosok yang selama ini mudah menuduh golongan lain sebagai ahlul hawa’, justru dirinyalah yang pantas disebut sebagai ahlul hawa’ yang sebenarnya.

Keharaman rokok itu sebenarnya sahl (mudah) untuk dinilai—cukup baca saja apa yang tertulis di kotak rokok itu. Demikian parafrasa dari nasihat tentang rokok yang disampaikan oleh Al-Ustaz Abdul Hakim Amir Abdat hafizhahullah.

Adapun secara dalil dari Al-Qur’an, keharaman rokok dapat kita lihat dari ayat berikut, yang juga ditunjukkan oleh Riyadh Bajrey saat ia terekam sedang merokok:

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"Dan Dia mengharamkan atas mereka segala yang buruk." (QS. Al-A‘raf: 157)

Maka, jika masih ada yang membela Riyadh Bajrey dengan alasan bahwa rokok adalah perkara ijtihadiyah, mengapa kalian tidak berlapang dada menerima bahwa Maulid Nabi juga merupakan perkara ijtihadiyah? Mengapa para pengikutnya begitu berat untuk bersikap adil? Ah, kami maklumi—bersikap adil itu memang berat, karena syaratnya adalah taqwa. Sedangkan kalian, tak ubahnya hanya menjalani “Sunnah Bani Israil”: terus-menerus memberi udzur dan pembelaan kepada “kawan” sendiri, sekalipun secara dzahir terlihat jelas melakukan kesalahan.

Riyadh Bajrey tentang Khamr: ”Mendingan (minum) Khamr lho, Kampanye mah errornya Ushul, Khamr-mah Cuma Kaba’ir”

Pernyataan Riyadh Bajrey Al-Mal’un dalam video tersebut—yang justru ia potong sendiri—tidak perlu ditabayunkan. Tabayyun hanya berlaku atas ucapan yang kita dengar dari pihak ketiga (media massa atau personal) yang tingkat tsiqat-nya diragukan. Jadi, dalam kasus ini tidak ada ruang untuk tabayyun, sebab ada kaidah:

نَحْنُ نَحْكُمُ بِالظَّوَاهِرِ، وَاللَّهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ

"Kita menghukumi berdasarkan apa yang tampak, sedangkan yang tersembunyi adalah urusan Allah."

Dalam pernyataan Riyadh Bajrey yang kedua, ada konsekuensi besar di balik ucapannya: “mending (cuma) minum khamr lho.” Kalimat ini menunjukkan bahwa ia meremehkan satu dosa yang secara konsensus (ijma’) ulama telah sepakat keharamannya, berdasarkan dalil yang bersifat pasti (qath’i), yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undi nasib adalah najis dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)

Begitu terang benderang, Riyadh Bajrey meremehkan satu dosa besar dengan memakai pola pikir “mending-mending”—sebuah pola pikir keliru yang menyamakan pilihan maksiat. Kaidah ini, yaitu “kita hanya berbeda pilihan maksiat,” adalah pola pikir yang sering keluar dari lisan orang-orang munafik ketika dinasihati. Kami (penulis) pun sering membaca dan mendengar ucapan semacam ini, dan tentu saja kami kaget ketika pernyataan seperti itu justru keluar dari seseorang yang merasa dirinya paling kokoh di atas manhaj salaf.

Mari kita simak sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tentang sikap meremehkan dosa:

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ

"Waspadalah kalian terhadap dosa-dosa kecil yang diremehkan. Karena dosa-dosa itu dapat berkumpul pada seseorang hingga membinasakannya.” (HR. Imam Ahmad)

Jika terhadap dosa kecil saja kita diperingatkan agar tidak meremehkan, apalagi terhadap khamr yang secara jelas termasuk Al kabā’ir dalam agama ini. Narasi yang keluar dari lisan Riyadh Bajrey menunjukkan bukan hanya kegoyahan manhaj dalam dirinya, tetapi juga kecacatan. Bahkan bukan hanya cacat secara manhaj, ucapannya juga cacat secara logika syar’i.

Khamr jelas keharamannya secara ijma’, sedangkan kampanye masih termasuk wilayah khilafiyah ijtihadiyah yang bukan bagian dari ushul. Memasukkan perkara furu’ ke dalam ushul adalah kebiasaan kaum Khawarij dan aktivis Hizbut Tahrir, yang memang gemar mengeluarkan kaum Muslimin dari pakem agama mereka.

Tentang Kampanye?

Sebelum kami memaparkan tulisan ini, kami ingin menyampaikan pendapat pribadi tentang kampanye, khususnya dalam dinamika politik di Indonesia. Setiap pasangan calon—baik dalam pilpres, pilgub, maupun pilwako—selalu membawa-bawa tokoh yang digelari ulama oleh masyarakat setempat. Ini adalah sebuah wāqi’ (realitas) yang sulit dihindari. Tinggal bagaimana sosok-sosok tersebut mampu menempatkan diri dengan baik, tanpa menimbulkan perpecahan di tengah umat, yakni tidak membangun narasi adu domba, dan menjadi bagian dari bargaining position agar para politisi tidak melupakan umat Islam yang telah mendukung mereka. Ini hanya ḥusnuzhan dari kami. Silakan jika ingin berbeda pendapat.

Sebab, jika umat Islam benar-benar meninggalkan politik, dikhawatirkan kekuasaan akan dipegang oleh orang-orang munafik. Akibatnya, umat akan ditinggalkan, dan urusan-urusan keumatan diabaikan—sebagaimana yang terjadi di sejumlah negeri Muslim yang kini dikuasai oleh para munafikin, hingga muncul undang-undang yang melarang simbol-simbol agama ditampakkan di ruang publik. Lihatlah kaum Muslimin di Tajikistan, padahal 96% masyarakatnya adalah Muslim, tapi penggunan hijab di ruang publik dilarang, perayaan hari raya dilarang, memelihara jenggot dilarang, bahkan penggunaan nama bahasa arab juga dilarang.

Karenanya, para ulama akhirnya berijtihad untuk masuk ke semua pasangan calon peserta pemilu di Indonesia. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai bargaining position, agar aspirasi umat tetap difasilitasi siapa pun yang menang.

Para ulama yang terjun ke ranah kampanye ini berlandaskan kaidah fikih:

يُرْتَكَبُ أَخَفُّ الضَّرَرَيْنِ

"Dipilih mudarat yang lebih ringan di antara dua mudarat."

Ulama-ulama seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Muḥammad bin Ṣhaliḥ Al ‘Utsaimin rahimahumallah, dan Syaikh Ṣhaliḥ Al Fawzan hafizhahullah pernah menyebutkan bahwa boleh ikut dalam pemilu jika bertujuan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar dan memberikan manfaat kepada kaum Muslimin, tentu dengan catatan tetap menjaga prinsip-prinsip Islam.

Jadi, kampanye politik, mengajak orang untuk memilih salah satu pasangan calon dengan tetap menjaga adab-adab keislaman, bukanlah perkara yang menabrak uṣhul. Ini adalah perkara ijtihadiyah. Jika engkau setuju, silakan ambil. Jika tidak, itu pun bukan masalah besar. Sekali lagi, karena ini adalah perkara ijtihadiyah, maka sama sekali tidak masuk ke dalam wilayah i‘tiqadiyah.

Tentang Demonstrasi?

Adapun mengenai demonstrasi, kami pribadi mengambil pendapat yang mengharamkannya—sekalipun pemerintah membolehkannya—karena menghindari mudarat lebih utama daripada mengejar sesuatu yang dianggap manfaat, namun faktanya hanya seperti fatamorgana. Sebab, beberapa kali terbukti bahwa hasil demonstrasi tidak benar-benar mengubah keadaan. Ditambah lagi, rawan ditunggangi dan diprovokasi sehingga menimbulkan perpecahan.

Namun, kami tidak berani mengatakan bahwa peserta aksi demonstrasi halal darahnya untuk ditumpahkan, sebagaimana yang keluar dari lisan Riyadh Bajrey. Itu adalah fatwa yang sangat mengerikan jika diterapkan. Akan ada begitu banyak darah kaum Muslimin yang tertumpah karenanya.

Tentang Kajian Berbayar?

Di bagian ini, dia begitu berani berprasangka buruk bahwa orang yang mengadakan kajian dengan konsep talk show dan berbayar dianggap menjual agama. Di sinilah letak permasalahan nalar seorang Riyadh Bajrey—atau umumnya para pendaku salafiyyīn—yang tampaknya kesulitan melihat suatu fenomena secara komprehensif. Logika “pokok” yang digunakan adalah logika sempit yang umum di kalangan mereka.

Perlu diketahui, objek dakwah itu beragam. Di antara mereka ada yang masih diuji dengan gengsi untuk datang ke kajian umum. Mereka lebih tertarik pada kajian yang bersifat eksklusif, di tempat yang eksklusif pula—dan ini adalah pengalaman kami secara langsung. Banyak dari mereka yang, ketika diberikan value-value motivasi seputar pentingnya ilmu, akhirnya tergerak untuk datang ke kajian yang lebih umum. Kami (penulis) adalah pelaku lapangan; umat yang masih gengsian ini pun tetap harus kita jadikan objek dakwah. Konsep berbayar adalah bagian dari washilah untuk menjangkau segmen ini.

Perlu juga diketahui bahwa biaya pembayaran tidak masuk ke kantong pembicara, melainkan digunakan untuk keperluan teknis acara, seperti sewa gedung, sound system, konsumsi, dan hal-hal lainnya. Maka sangatlah keliru dan gegabah apabila seseorang dengan mudah menuduh bahwa kajian semacam ini adalah bentuk menjual agama. Apalagi jika sampai mengatakan bahwa lebih baik minum khamr daripada mengikuti kajian berbayar.

Pesan kami untuk Riyadh Bajrey: perbaiki kembali niat dakwahmu, uslub (gaya) dakwahmu, dan cara berpikirmu. Dan kepada para pengikutnya, kami tidak hendak menzhalimi—karena mayoritas pengikut Riyadh Bajrey berasal dari kalangan dengan pemahaman terbatas dalam urusan agama. Hanya bisa mendorong dan mendoakan agar kalian kelak menemukan rujukan dakwah yang tidak cacat logika maupun nalar, seperti yang terlihat pada diri Riyadh Bajrey.

Demikianlah bantahan kami yang In syaa Allah tetap menjaga semangat ukhuwah, terkesan keras memang karena ini bagian dari menyelamatkan umat dari syubhat-syubhat yang Riyadh Bajrey sebarkan. Hadaniyallah wa iyyakum

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...