Langsung ke konten utama

Ruwaibidhoh, Sumber Kegaduhan

Di dalam suatu hadits yang ditulis oleh Imam Ibnu Majah Rahimahullahu ta'ala;

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Abu Bakr bin Abi Syaibah menyampaikan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun mengatakan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi mengatakan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu ’anhu-, dia berkata; Rasulullah shollallahu ‘alayhi wasallam bersabda;


Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, Shahih) 

Mengenai Hadits tentang gambaran Ruwaibidhoh tersebut bisa kita ambil dua pesan untuk pribadi yang masuk kategori awwam mengenai suatu perkara. Pertama, tampak Rasulullah Shalallahu 'alayhi Wasallam membatasi umatnya dalam mengeluarkan pendapat, apalagi mengenai hajat hidup orang banyak.
Hal demikian diikuti oleh generasi setelah Beliau Shollallahu 'alayhi Wasallam dan para Sahabat Radhiyallahu 'Anhum, di mana mereka sangat berhati-hati sebelum berkata dan beramal. Imam Bukhori رحمه اللّه pernah berkata di dalam kitabnya:

العلم قبل القول والعمل

"Berilmu sebelum berkata dan beramal"

Sehingga kita tidak sekadar ikut-ikutan atau hanya untuk meramaikan sebuah isu, sementara penguasaan kita terhadap masalah itu belum utuh.

Adapun yang kedua, bila menghadapi sebuah perkara, orang-orang yang berilmu sebelum berkata dan beramal akan mengembalikan kepada ilmu dan ulama, yang dimaksud ilmu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus ummah. Sementara yang dimaksud ulama adalah ahli ilmu yang mengikuti perjalanan Nabi dan para sahabat dalam hal ilmu, amal, dakwah, dan jihad. Sehingga para ulama ini ketika berpendapat tidak menunjuk pada pendapat pribadi, dia akan mencari perkataan Rasulullah, para sahabat dan ulama-ulama terbaik yang sejalan dengan Al Quran dan Sunnah.
Bagi kita yang mengagungkan ilmu, haruslah mampu menahan diri dalam menggunakan lisan dan membuat tulisan terhadap perkara yang memang masih simpang siur dan pemahaman kita akan hal itu belum cukup. Guru kami Asy Syaikh Shalih bin Abdillah bin Hammad Al 'Ushoymi Al 'Atiibii حافظه اللّه telah berkata di dalam kitabnya *Ta'zhimil 'ilm* untuk para pecinta ilmu dalam menghadapi masalah:

ردّ مشكله إلى أهله، فالمعظّم للعلم يعوّل على دهاقنته والجهابذة من أهله لحلّ مشكلاته

"Kembalikan masalah kepada ahlinya, maka tanda seseorang yang mengagungkan ilmu dia akan menyerahkan setiap permasalahan kepada ahlinya dan orang yang berpengalaman di antara ahli ilmu untuk memecahkan suatu masalah."

Maka, bila kita tidak nyaman melihat atau menghadapi suatu masalah, sementara apabila berpendapat banyak salahnya atau justru menambah kegaduhan, coba kita salurkan energi itu ke dalam do'a sebagai bentuk taqwa kita kepada Allah semoga bisa segera diberi jalan keluar.

{‏ومن يتّق اللّه يجعل لّه مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب ... [‏الطلاق‏:‏ ٢-٣] الآية

"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah jadikan baginya jalan keluar dan rezeki yang tidak disangka-sangka" (ath thalaaq: 2-3).


Semua itu dilakukan juga untuk mendapat bagian dari mengamalkan Hadits Rasulullah Shollallahu 'alayhi wasallam:


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47).

Apabila orang-orang beriman menyadari keterbatasannya, menahan diri dari mengeluarkan pendapat di luar kapasitasnya, tentulah kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu itu tidak akan terjadi. Walau penulis pada hakikatnya menyadari bahwa inilah memang bentuk tanda-tanda fitnah akhir zaman. Hanya saja kami berharap Ruwaibidhoh ini bukan berasal dari orang-orang terdekat Al Faqir.

Jember, 
30 November 2019 Masehi
2 Rabi'ul Tsani 1441 Hijriyah

Maroji'

- Kitab Khulashoh Ta'zhimil Ilmi
- Faedah Mulazamah HSI Ustadz Abdullah Roy Hafizhahullah, di Jember

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Puasa Tathowwu'

Setelah sebulan penuh kita menjalani puasa di bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga memberi contoh untuk melakukan puasa tathawwu’ . Ini bukan nama sebuah amaliyah baru, melainkan nama lain dari puasa sunnah. Tujuan dari puasa ini adalah dalam rangka muqarrabah , yakni mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa saja bentuknya, kapan saja waktunya, serta apa keutamaannya? In syaa Allah penjelasannya sebagai berikut: 1. Puasa 6 hari di bulan Syawal Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa." (HR. Muslim) 2. Puasa Senin dan Kamis Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ditanya mengenai puasa pada hari Senin. Beliau men...

Khutbah Idul Fitri 1441 H: ”Mengambil Hikmah di Tengah Musibah dan Wabah Corona”

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Jama’ah kaum muslimin rahimahi wa rahimakumullah… Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah jalla wa ‘ala atas segala limpahan karunianya sehingga kita mampu menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan tahun ini, dan hari ini kita dipertemukan kembali kepada hari raya idul fitri. Tentunya kita berharap bahwa puasa Ramadhan kita diter...

Labelnya Salafi, Mentalnya Bani Israil

Secara lughawy (bahasa)   istilah hizbi berasal dari kata Arab "ḥizb" ( حزب ) yang berarti kelompok atau golongan. Adapun secara isthilahiy  (syar'i), hizbi mengacu pada seseorang yang membangun loyalitas dan permusuhan atas dasar kelompok-golongan, bukan atas dasar kebenaran. Ia “mendewakan” tokohnya, membela kelompoknya secara membabi buta, dan menolak kebenaran bila datang dari luar afiliasinya. Fanatisme seperti inilah yang dikritik keras oleh para ulama salaf, termasuk Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, karena ia merupakan akar perpecahan umat dan warisan buruk dari kaum terdahulu yang telah Allah kecam dalam Al Qur’an. Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan peringatan yang sangat tajam terhadap fenomena fanatisme individu dan kelompok. Beliau berkata: مَنْ نَصَبَ شَخْصًا كَائِنًا مَنْ كَانَ، فَوَالَى وَعَادَى عَلَى مُوَافَقَتِهِ فِي الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ، فَهُوَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا "Barangsiapa yang mengangkat seseoran...